Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

AS Tangguhkan Penggunaan Vaksin Johnson & Johnson, Ini Alasannya

Pihak Johnson & Johnson menyatakan akan menunda peluncuran vaksin itu ke Eropa seminggu setelah pihak regulator melaporkan akan mempelajari kasus gumpalan darah langka.
Vaksin Johnson and johnson
Vaksin Johnson and johnson

Bisnis.com, JAKARTA - Badan kesehatan federal Amerika Serikat merekomendasikan penghentian penggunaan vaksin Covid-19 Johnson & Johnson (J&J) setidaknya selama beberapa hari setelah ditemukan kasus pembekuan darah langka pada enam wanita usia di bawah 50 tahun usai divaksinasi.

Pihak Johnson & Johnson menyatakan akan menunda peluncuran vaksin itu ke Eropa seminggu setelah pihak regulator melaporkan akan mempelajari kasus gumpalan darah langka pada empat penerima vaksin di Amerika Serikat. Afrika Selatan juga menangguhkan penggunaan vaksin J&J.

Pejabat Komisioner Badan Pengawas Obat dan Makanan (FDA) AS, Janet Woodcock mengatakan badan tersebut memperkirakan penghentian sementara itu hanya untuk beberapa hari. Tujuannya, untuk memberikan informasi kepada penyedia layanan kesehatan tentang cara mendiagnosis dan menangani gumpalan darah.

Langkah itu dilakukan setelah regulator Eropa mengatakan awal bulan ini bahwa mereka telah menemukan kemungkinan hubungan antara vaksin Covid-19 AstraZeneca dan masalah pembekuan darah langka serupa yang menyebabkan sejumlah kecil kematian.

Pejabat FDA Peter Marks mengatakan bahwa "sangat jelas" kasus J&J "sangat mirip" dengan kasus AstraZeneca. Dia mengatakan tidak ada kasus pembekuan darah serupa yang dilaporkan di antara penerima vaksin Moderna atau Pfizer-BioNTech, yang menggunakan teknologi berbeda dan sejauh ini merupakan sebagian besar dari vaksinasi di AS.

Akan tetapi, suntikan dosis tunggal J&J dan vaksin yang lebih murah AstraZeneca dipandang sebagai senjata vital dalam memerangi pandemi yang telah merenggut lebih dari tiga juta jiwa secara global.

Namun, pakar imunologi menggarisbawahi bahwa risiko yang ditimbulkan oleh vaksin J&J tampak sangat rendah.

"Bahkan jika secara kausal dikaitkan dengan vaksin: 6 kasus dengan sekitar 7 juta dosis ... bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan," kata Amesh Adalja, pakar penyakit menular dari Pusat Keamanan Kesehatan Johns Hopkins di Baltimore seperti dikutip ChannelNewsAsia.com, Rabu (14/4/2021).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper