Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Alexander Marwata membeberkan sejumlah kendala dalam penghitungan kerugian negara dalam kasus proyek pengadaan tiga unit Quay Container Crane (Qcc) di Pelindo II Tahun 2010 yang menjerat RJ Lino.
Diketahui, mantan Direktur Utama Pelindo II, RJ Lino baru ditahan pada hari ini, Jumat (26/3/2021) setelah 5 tahun menyandang status tersangka dalam kasus tersebut.
Alex membeberkan bahwa KPK mengalami kesulitan dalam menghitung kerugian negara dalam kasus ini. Dia mengatakan penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC yang dijual oleh HuangDong Heavy Machinery Co. Ltd (HDHM). Diketahui, dalam konstruksi perkara, RJ Lino menunjuk HDHM untuk pengadaan tiga buah QCC.
Bahkan, kata Alex, pimpinan KPK periode sebelumnya sempat hendak bertemu dengan pihak inspektorat dari China. KPK ingin menanyakan harga QCC yang dibeli Pelindo dari HDHM.
"Bahkan, Pak Laode dan Pak Agus Rahardjo ke China dan dijanjikan bisa bertemu Menteri atau Jaksa Agung, tapi pada saat terakhir ketika mau bertemu dibatalkan," ucap Alex dalam konferensi pers, Jumat (26/3/2021).
Padahal, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), kata Alex, menuntut dokumen atau data terkait harga QCC yang dijual HDHM, untuk melakukan penghitungan kerugian negara dari pengadaan ketiga QCC ini.
"Di sisi lain penyidik kesulitan mendapatkan harga QCC atau setidaknya harga pembanding. Misalnya HDHM menjual ke negara lain itu bisa dibandingkan sehingga itu bisa menjadi dasar perhitungan negara," jelasnya.
KPK, lanjut Alex, tetap meminta BPK untuk menghitung kerugian negara. Hasilnya, BPK mendapatkan perhitungan kerugian negara terkait pemeliharaan QCC.
Mengenai pengadaan alatnya, dia mengatakan BPK tidak bisa menghitung kerugian negaranya lantaran ketiadaan dokumen atau data pembanding.
Akhirnya, KPK memutuskan menggunakan ahli dari ITB untuk mengitung harga pokok produksi QCC tersebut. Ahli ITB itu, dimintai bantuan untuk merekonstruksi alat QCC dan menghitung total harga pokok produksi.
"Memang dalam menghitung kerugian dalam akuntasi itu ada yang disebut histories cost," kata Alex.
Menurutnya, cara menghitung itu biasanya didukung dengan data dan dokumen berapa biaya yang dikeluarkan untuk membelikan alat tersebut, temasuk harga pembanding.
"Ada juga metode lain yaitu menghitung replacement cost. Kira-kira berapa biaya yang dikeluarkan kalau alat itu diproduksi sendiri, kami menggunakan metode itu dengan meminta bantuan dari ahli ITB untuk merekonstruksi alat QCC itu seandainya dibuat, harga pokoknya berapa," papar Alex.
Alex mengatakan penghitungan tersebut kemudian dijadikan dasar, bahwa terdapat selisih yang signifikan antara QCC yang dibeli Pelindo dari HDHM dengan harga produksi.
"Dibandingkan dengan harga yang dibeli dari pelindo ke HDHM yang sebesar US$15 juta, kontraknya segitu. Sementara ahli dari ITB, mungkin termasuk ongkos angkut ke sini secara total US$10 juta. Jadi ada perbedaan sekitar US$5 juta," papar Alex.