Bisnis.com, JAKARTA – Apa bedanya antara bertahan hidup di tengah pandemi Covid-19 yang ganas seperti saat ini dan ketika perang berkecamuk?
Lebih spesifik lagi, amuk perang tersebut terwakili oleh mereka yang direncanakan untuk dihabisi dengan alasan tertentu. Di mana letak perbedaannya?
Saat ini dunia memang sedang berperang melawan wabah corona. Memang tidak ada konflik terbuka yang melibatkan mesin perang modern. Namun korban jiwa tetap berjatuhan. Jutaan orang meninggal diterjang wabah Covid-19 dalam setahun terakhir ini.
Dan perang dunia melawan pandemi global hingga detik ini masih berlangsung dengan hebatnya. Setiap negara berjuang untuk terbebas dari wabah virus corona. Untuk itu, vaksin tak ubahnya ‘new oil’. Komoditas ‘langka’ yang paling dicari!
Di sisi lain, perang terbuka bukan pula fenomena asing bagi umat manusia. Segala derita, sisi kelam hingga perjuangan hidup yang paling heroik pun bercampur menjadi satu kisah besar wajah peradaban.
Ambil contoh Perang Dunia II. Bila kita berbicara mengenai kamp konsentrasi misalnya, bisa jadi bayangan horor kekejaman Nazi langsung terpancar. Siapa yang menjadi korban, sejarah sudah mencatatnya.
Dalam kondisi mencekam yang amat sulit dibayangkan dengan akal sehat tersebut, selamat dari pemusnahan sistematis tentu bisa dikatakan sebuah keajaiban. Selamat dari maut! Mampu bertahan hidup.
Dalam hal ini, sulit untuk tidak menyebut nama Viktor E. Frankl, seorang yang terlempar ke jaringan kamp konsentrasi Nazi. Sumber-sumber kekuatannya untuk bertahan hidup seperti sudah melegenda.
Salah satu prinsip yang dipegang teguh adalah ucapan Nietzsche: Dia yang punya alasan mengapa harus hidup akan mampu menanggung segala bentuk bagaimana caranya hidup.
Frankl menggambarkan dengan pilu bagaimana para tawanan yang putus asa akan kehidupan dan kehilangan harapan akan masa depan merupakan orang-orang yang pertama tewas.
Mereka tewas lebih karena kehilangan harapan dan kehilangan semangat hidup ketimbang karena kekurangan makanan atau obat-obatan.
Tidak seperti mereka, Frankl bertahan hidup dengan cara selalu memupuk ingatan tentang istrinya serta harapan akan bertemu kembali dengan wanita yang dicintainya itu (Khusner, 2017).
Juga dengan bermimpi suatu saat nanti ketika perang berakhir dapat berceramah mengenai hikmah psikologis yang dapat dipetik dari pengalamannya di kamp Auschwitz.
Tentu saja, seperti dikatakan Harold S. Kushner dalam pengantarnya dalam buku Frankl Man’s Search for Meaning, banyak tawanan yang sangat ingin hidup pada akhirnya meninggal juga.
Sebagian karena penyakit, sebagian di kamar gas. Namun perhatian pengusung teori Logoterapi itu lebih pada mengapa orang bisa bertahan dan selamat ketimbang mengapa sebagian besar mereka tewas.
Itulah mengapa, betapapun mengerikan, pengalamannya di kamp konsentrasi menguatkan kembali apa yang sudah menjadi salah satu gagasan besarnya: Hidup, utamanya bukanlah sebuah upaya mencari kepuasan atau mengejar kekuasaan. Akan tetapi sebuah pencarian makna.
Muncul kemudian pemikirannya mengenai tiga kemungkinan sumber makna hidup, yaitu dalam kerja (melakukan sesuatu yang penting), dalam cinta (kepedulian pada orang lain), dan dalam keberanian di saat-saat sulit.
“Ini semua tentang perjuangan pantang menyerah demi roti hari ini dan demi hidup itu sendiri, demi kepentingan diri maupun demi kepentingan teman baik,” papar Frankl mengenang horor kamp Auschwitz.
Dalam kekejian dan keganasan hidup, psikiater tersebut menegaskan bahwa seseorang memang tidak dapat menghindari penderitaan tetapi dapat memilih cara mengatasinya, menemukan makna di dalamnya, dan melangkah maju dengan tujuan baru.
Dia bertahan hidup, sementara orang tuanya, saudara laki-laki dan istrinya yang sedang hamil akhirnya tewas dalam kamp.
Tragedi kamp konsentrasi sudah menjadi sejarah. Kini umat manusia sedang berjuang keras untuk mengatasi salah satu tantangan besar peradaban: Pandemi global Covid-19.
Makna apa yang sudah kita temukan dalam meniti hidup di tengah terpaan wabah mematikan ini?