Bisnis.com, JAKARTA - Pemimpin Amerika Serikat, India, Australia dan Jepang berjanji untuk bekerja sama memulihkan demokrasi di Myanmar di tengah meningkatnya aksi represi oleh junta militer di negara itu terhadap protes dan pembangkangan sipil.
Pemerintahan baru AS di bawah pimpinan Presiden Joe Biden melakukan pertemuan virtual dengan para pemimpin negara lain, yakni India, Jepang dan Australia kemarin, Jumat (12/3/2021). Pertemuan puncak resmi pertama dari kelompok yang dikenal sebagai Kwartet, ini menjadi dorongan untuk menunjukkan komitmen AS yang diperbarui terhadap keamanan regional.
"Sebagai pendukung lama Myanmar dan rakyatnya, kami menekankan kebutuhan mendesak untuk memulihkan demokrasi dan prioritas penguatan ketahanan demokrasi," kata keempat pemimpin itu dalam sebuah pernyataan yang dirilis oleh Gedung Putih.
Bersamaan dengan pertemuan tersebut, jumlah pengunjuk rasa yang tewas akibat aksi represif pasukan keamanan Myanmar setelah kudeta pemerintahan sipil terjadi pada 1 Februari 2021 kembali bertambah.
Media domestik melaporkan dua pengunjuk rasa tewas dalam penembakan polisi di distrik Tharketa, ibu kota komersial Myanmar, Yangon, Jumat (12/3/2021) malam. Penembakan itu terjadi ketika para aktivis menyerukan lebih banyak protes antikudeta pada peringatan kematian seorang siswa yang pembunuhannya pada 1988 memicu pemberontakan melawan pemerintah.
DVB News mengatakan polisi menembaki kerumunan yang berkumpul di luar kantor polisi Tharketa menuntut pembebasan orang yang ditangkap.
Poster-poster tersebar di media sosial yang menyerukan kepada orang-orang untuk turun ke jalan untuk memprotes junta dan untuk menandai peringatan kematian Phone Maw, yang ditembak dan dibunuh oleh pasukan keamanan pada 1988 di tempat yang kemudian dikenal sebagai kampus Institut Teknologi Rangoon.
Baca Juga
Penembakan terhadapnya dan siswa lain yang meninggal beberapa minggu kemudian memicu protes luas terhadap pemerintah militer yang dikenal sebagai kampanye 8-8-88, karena mencapai puncaknya pada Agustus tahun itu. Diperkirakan 3.000 orang tewas ketika tentara menumpas pemberontakan.
Aung San Suu Kyi muncul sebagai ikon demokrasi selama gerakan dan ditahan di rumah selama hampir dua dekade. Dia dibebaskan pada 2008 ketika militer Myanmar memulai reformasi demokrasi dan Liga Nasional untuk Demokrasi miliknya memenangkan pemilu pada 2015 dan sekali lagi pada November tahun lalu.
Pada 1 Februari tahun ini, para jenderal menggulingkan pemerintahannya dan menahan Suu Kyi dan banyak rekan kabinetnya, seraya mengklaim penipuan dalam pemilihan November.
Lebih dari 70 orang telah tewas di negara Asia Tenggara itu dalam protes yang meluas sejak kudeta terjadi, kata kelompok advokasi Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik (AAPP).