Bisnis.com, JAKARTA - Presiden Amerika Serikat Joe Biden mengancam akan mengeluarkan sanksi atas penahanan pemimpin Myanmar Aung San Suu Kyi dan sejumlah tokoh lain.
Tentara Myanmar, dalam sebuah kudeta, telah menahan Aung San Suu Kyi dan menuduh partainya melakukan penipuan atas kemenangan besar dalam pemilihan umum (Pemilu) baru-baru ini.
"Kekuatan tidak boleh berusaha untuk mengesampingkan keinginan rakyat atau berusaha untuk menghapus hasil pemilu yang kredibel," kata Biden dalam sebuah pernyataan, dilansir BBC, Selasa (2/2/2021).
Tidak hanya Pemerintah AS, kudeta di Myanmar juga mendapat kecaman keras dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan Inggris.
Sebelumnya, AS telah mencabut sanksi selama dekade terakhir saat Myanmar berkembang menuju demokrasi. Biden mengatakan kebijakan itu akan segera ditinjau.
"Amerika Serikat akan membela demokrasi di mana pun ia diserang," imbuhnya.
Sekretaris Jenderal PBB António Guterres menyebut langkah tentara itu sebagai pukulan serius bagi reformasi demokrasi. PBB menuntut pembebasan dari sedikitnya 45 orang yang telah ditahan.
Di Inggris, Perdana Menteri Boris Johnson mengutuk kudeta dan penahanan yang melanggar hukum atas Aung San Suu Kyi. Para pemimpin Uni Eropajuga telah mengeluarkan kecaman serupa.
China, yang sebelumnya menentang intervensi internasional di Myanmar, mendesak semua pihak di negara itu untuk menyelesaikan perbedaan. Beberapa kekuatan regional, termasuk Kamboja, Thailand dan Filipina, mengatakan itu adalah masalah internal.
Di Myanmar, pasukan militer berpatroli di jalan-jalan dan jam malam diberlakukan. Selain itu, militer juga mengumumkan status darurat selama satu tahun.
Suu Kyi mendesak para pendukungnya untuk memprotes kudeta. Dalam sebuah surat yang ditulis untuk persiapan penahanannya yang akan datang, dia mengatakan tindakan militer akan mengembalikan negara di bawah kediktatoran. Militer telah mengumumkan penggantian sejumlah menteri.
Di jalan-jalan kota utama Yangon, orang-orang mengatakan bahwa perjuangan keras mereka untuk demokrasi telah hilang.
Myanmar, yang juga dikenal sebagai Burma, diperintah oleh angkatan bersenjata hingga 2011, ketika reformasi demokrasi yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi mengakhiri kekuasaan militer.
Dia menghabiskan hampir 15 tahun dalam tahanan antara 1989 dan 2010. Dia dipuji secara internasional sebagai suar demokrasi dan menerima Hadiah Nobel Perdamaian pada 1991.
Namun, reputasi internasionalnya terpukul setelah tindakan keras militer terhadap sebagian besar minoritas Muslim Rohingya. Mantan pendukung menuduhnya menolak mengutuk militer atau mengakui kekejaman.