Bisnis.com, JAKARTA - Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono mengunggah cuitan di twitter mengenai politik, Minggu (31/1/2021).
"Bagi siapapun yang memegang kekuasaan politik, pada tingkat apapun, banyak cara berpolitik yang lebih bermoral dan lebih beradab," tulisnya.
Presiden RI periode 2004-2014 itu melanjutkan," Ada 3 golongan manusia, yaitu the good, the bad & the ugly. Kalau tidak bisa menjadi the good janganlah menjadi the ugly."
Cuitan soal kepemimpinan tersebut ditanggapi beragam dari netizen. Ada yang mengapresiasi namun adapula yang bernada sumir.
Namun demikian, pada 20 Januari, akun @SBYudhoyono juga menuliskan, "bagi para pencinta demokrasi, drama politik di AS saat ini dapat dipetik pelajarannya. Pertama, sistem demokrasi tidaklah sempurna, terutama implementasinya. Ada wajah baik & wajah buruk dalam demokrasi. Namun, tidak berarti sistem otoritarian & oligarki lebih baik."
Selanjutnya dituliskan; kedua, di era post-truth politics, ucapan pemimpin (presiden) harus benar dan jujur. Kalau tidak, dampaknya sangat besar. Ucapan Trump bahwa pilpresnya curang (suaranya dicuri) timbulkan kemarahan besar pendukungnya. Terjadilah serbuan ke Capitol Hill yang coreng nama baik AS.
Baca Juga
Ketiga, post-truth politics (politik yang tidak berlandaskan pada fakta), termasuk kebohongan yg sistematis dan berulang, pada akhirnya akan gagal. Pemimpin akan kehilangan trust dari rakyatnya, karena mereka bisa bedakan mana yg benar (faktual) dengan yang bohong (tidak faktual).
Keempat, tiap pemilu ada yg menang, ada yang kalah. Meskipun berat dan menyakitkan, siapapun yang kalah wajib terima kekalahan dan ucapkan selamat kepada yang menang. Itulah tradisi politik & norma demokrasi yang baik. Sayangnya, sebagai champions of democracy, ini tidak terjadi di AS sekarang.
Kelima, kali ini pergantian kekuasaan yang damai (smooth & peaceful) tak terjadi di AS. Transisi kekuasaan dibarengi luka, kebencian & permusuhan. Ini petaka bagi AS yg politiknya terbelah (deeply divided). Energi Biden bisa habis untuk satukan AS hadapi tantangan ke depan.
Keenam, jelang pelantikan Biden, Washington DC mencekam, banyak barikade & dalam pengamanan ketat 25.000 tentara. Siapa ancamannya? Kali ini bukan musuh dari luar, seperti biasanya, tapi "teroris domestik". Ini titik gelap dalam sejarah AS. Juga warisan buruk yang ditinggalkan Trump.
Ketujuh, setiap krisis selalu ada pahlawannya. "Saya respek kepada Wapres Mike Pence yg tunjukkan karakter kesatrianya dengan menerima hasil Pilpres yang lalu meskipun kalah. Dia tolak "perintah" Trump untuk ubah hasil pemilu karena tak berdasar. Dia hormati konstitusi & demokrasi," tulis SBY.
Kedelapan, Pence bukan tipe yang haus kekuasaan. Dia tak memanfaatkan kesempatan untuk ambil alih kepemimpinan meskipun diminta secara resmi oleh DPR AS (sesuai amandemen ke-25 konstitusi AS). Pence menolak, karena bukan itu yang terbaik bagi bangsa AS.
Tidak jelas benar, konteks cuitan SBY pada 31 Januari apakah terkait dengan rangkaian unggahan 20 Januari tersebut, atau 'menyentil' dinamika kepemimpin dalam negeri.