Bisnis.com, JAKARTA - Nama PDI Perjuangan (PDIP) tengah disorot setelah serangkaian sejumlah kadernya ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Salah satu yang paling heboh adalah penahanan Menteri Sosial yang juga Wakil Bendahara Umum PDIP Juliari P Batubara. Juliari ditahan karena dugaan kongkalikong penyaluran bantuan sosial Covid-19 untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek).
Rentetan kasus yang dilakukan oleh oknum kader PDIP tentu bertolak belakang dengan semangat awal pembentukan partai ini. Apalagi, dalam setiap kesempatan, PDIP selaku mendaku sebagai partainya 'wong cilik', rakyat jelata, kawula bukan partai elit. Korupsi tentu bertentangan dengan karakter wong cilik yang jujur dan gigih untuk bertahan hidup.
Sejarah, keberadaan PDIP tak bisa dilepaskan dari PDI. Salah satu partai yang eksis pada masa orde daripadanya Suharto berkuasa. PDI dibentuk pada 11 Januari 1973. Partai ini merupakan fusi dari PNI, Murba, IPKI, Partai Kristen Indonesia, dan Partai Katolik.
Penyederhanaan partai itu tak lepas dari kebijakan kontra-revolusi, depolitisasi, oleh rezim Orde Baru. Salah satu mastermind-nya adalah tokoh intelijen, Ali Moertopo.
Strategi kontra revolusi dan depolitidasi itu bisa ditelusuri dalam buku 25 Tahun Akselerasi Modernisasi Pembangunan yang ditulis oleh jenderal asal Blora, Jawa Tengah itu.
Namun, yang perlu dicatat, depolitisasi ala Orde Baru tak benar-benar meniadakan partai politik.
Hanya jumlah partai yang disederhanakan. Partai berlatar belakang Islam kemudian dipaksa bergabung jadi satu yakni PPP, golongan nasionalis di PDI.
Sementara rezim daripadanya Suharto, menggunakan Golkar sebagai alat politik rezim. Dengan kata lain, Golkar menjadi salah satu motor politik Orde Baru untuk melanggengkan kekuasaan sampai 32 tahun lamanya.
"Dengan demikian, rakyat di desa tidak perlu menghabiskan waktu... dalam kancah perjuangan politik. Tetapi menyibukan diri dalam usaha-usaha pembangunan," demikian tulis Ali Moertopo dalam buku tersebut.
Kelak, Ali Moertopo membuktikan gagasannya ini sangat efektif. Orde Baru menikmati stabilitas politik dan ekonomi sepanjang dekade 1970-an. Gangguan keamaman bisa ditekan. Alhasil, pembangunan mulai berjalan.
Sampai suatu saat, riak-riak politik mulai muncul pada tahun 1980an. Hal itu ditandai dengan keberadaan kelompok Petisi 50 serta munculnya Megawati Soekarnoputri, trah Sukarno, dalam kancah politik nasional.
Max Lane, penulis berkebangsaan Australia, dalam bukunya Unfinished Nation, menulis kemunculan sosok Megawati, yang berasal dari trah Sukarno, rupanya berhasil mengatrol suara PDI.
Mega semakin populer. Perolehan kursi PDI di parlemen juga semakin besar. Peningkatan popularitas Mega, membuat gusar penguasa Orde Baru. Apalagi, Megawati berhasil menghidupkan kembali basis-basis kaum nasionalis-Soekarnois (PNI).
Konflik antara Suharto dan Megawati, tulis Max, kemudian memuncak pada Juli 1996. Waktu itu, pemerintah hanya mengakui kongres PDI yang memenangkan Soerjadi, pendukung rezim, bukan Megawati yang menjadi oposisi kuat waktu itu.
"Mereka mencabut pengakuan hukum bagi Megawati, menyingkirkan secara hukum dari politik formal," tulis Max dalam buku tersebut.
Namun, puncak konflik antara Suharto vs Megawati terjadi pada 27 Juli 1996 atau Peristiwa Kudatuli. Eskalasi konflik yang besar, korban jiwa, dan kerusuhan yang menjalar di ibu kota, menjadi tamparan bagi Orde Baru.
Max memaparkan, momentum untuk meningkatkan aksi-aksi protes mulai berjalan. Peristiwa Kudatuli 1996 memacu segalanya. "Megawati, anggota PDI pro Mega, menolak disingkirkan secara hukim oleh rezim," jelasnya.
Sekretaris Jenderal (Sekjen) DPP PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto mengatakan, peristiwa penyerangan Kantor DPP PDI pada 27 Juli 1996 telah berlalu selama 20 tahun.
Namun, hingga kini belum ada titik terang penyelesaian kasus yang dikenal dengan peristiwa Kudatuli itu. Menurut Hasto, pemerintah yang berkuasa ketika itu menggunakan alat negara untuk memberangus demokrasi arus bawah.
"Jadi DPP PDI Perjuangan sesuai amanat Kongres IV, akan terus berjuang terhadap penyelesaian pelanggaran demokrasi berat tersebut," ujar Hasto dikutip dari laman resmi PDIP.