Proses pengawalan dilakukan karena lembaga antikorupsi itu menganggap proses pelaksanaan anggaran penanganan Covid-19 rawan korupsi dan penyalahgunaan kewenangan.
Hal ini terbukti dengan kasus suap dan upaya pengungkapan korupsi bantuan sosial (bansos) yang menjerat bekas Menteri Sosial Juliari P Batubara.
Seperti diketahui, untuk menangani dampak negatif akibat pandemi Covid-19, pemerintah telah mengalokasikan anggaran penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN) senilai Rp692,5 triliun.
Sumber pembiayaan anggaran PEN sebagian besar ditopang oleh utang baik dalam bentuk surat berharga negara maupun pinjaman. Namun demikian, dalam perjalanannya, penggunaan anggaran PEN dinilai tidak tepat sasaran.
Awal bulan ini, misalnya, KPK telah membongkar praktik kongkalikong ‘permainan bansos’ yang membelit eks Mensos Juliari P Batubara.
Padahal, dalam konteks ekonomi, pemberian bansos tersebut ditujukan untuk jaring pengaman sosial, sekaligus sebagai bentuk intervensi kebijakan untuk mendorong daya beli masyarakat yang amblas karena pandemi.
Ketua KPK Firli Bahuri mengungkap kerawanan-kerawanan tersebut. Sebagai bentuk pencegahan, KPK telah menerbitkan 4 aturan untuk mengawal pelaksanaan anggaran penanganan Covid-19 supaya tepat sasaran.
Pertama, KPK telah mengeluarkan kebijakan pendanaan covid-19 dengan menerbitkan kebijakan berupa Surat Edaran dan Surat Pimpinan.
Kedua, di sektor pengadaan barang dan jasa, KPK juga menerbitkan Surat Edaran Pimpinan KPK Nomor 8 Tahun 2020 Tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Pengadaan Barang dan Jasa dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19 terkait dengan Pencegahan Tindak Pidana Korupsi.
Aturan ini, kata Firli, menekankan bahwa pengadaan barang dan jasa (PBJ) tetap memperhatikan peraturan perundang-undangan yang berlaku, serta prinsip PBJ pada kondisi darurat yaitu efektif, transparan dan akuntabel dan tetap berpegang pada konsep harga terbaik (value for money) sebagaimana Pasal 4 Perpres 16 Tahun 2018.
Ketiga, KPK juga menerbitkan Surat Edaran Pimpinan KPK Nomor 11 Tahun 2020 Tentang tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan Data Non-DTKS dalam Pemberian Bantuan Sosial ke masyarakat.
KPK menekankan bahwa pemberian bantuan sosial oleh kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah harus menggunakan rujukan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).
Adapun pembaharuan DTKS harus terus dilakukan untuk memastikan ketepatan sasaran dan kesesuaian terhadap peraturan yang berlaku, memadukan data penerima dengan data Nomor Induk Kependudukan (NIK) guna menghindari data ganda/fiktif.
Sementara yang keempat KPK juga telah menerbitkan Surat Pimpinan KPK Nomor B/1939/GAH.00/01-10/04/2020 tentang Penerimaan Sumbangan atau Hibah dari Masyarakat oleh Lembaga Pemerintah.