Bisnis.com, JAKARTA – Tanpa hukum yang menetapkan dan melarang, pertanyaan apakah tindakan tertentu itu korup atau tidak korup menjadi urusan opini.
Tanpa hukum, kita terjebak dalam ketidakjelasan apakah suatu transaksi melanggar atau tidak melanggar norma etis, atau apakah perbuatan tertentu harus dicela secara moral.
Dua alinea pembuka itu sengaja saya petik dari pernyataan Josep Lapalombara, politikolog, yang dikutip B. Herry Priyono dalam bukunya yang berjudul Korupsi, Melacak Arti, Menyimak Implikasi yang terbit pada 2018.
Pasalnya, korupsi di negeri ini nampaknya tak pernah mati. Musim boleh berganti tetapi praktik busuk itu selalu saja bisa beradaptasi di segala lingkungan kekuasaan.
Perdebatan panas pernah mengemuka, yaitu apakah korupsi sebagai minyak pelumas pembangunan atau korupsi sebagai pasir pengganjal pembangunan.
Bisa jadi keduanya relevan dengan kondisi yang dialami bangsa ini. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggempur korupsi siang dan malam. Namun ajaibnya korupsi juga tak pernah tidur.
Paling anyar tentu saja dugaan korupsi yang mengarah kepada Menteri Kelautan dan Perikanan Edhy Prabowo dan Menteri Sosial Juliari P. Batubara. Kedua pembantu Presiden Joko Widodo tersebut ditangkap KPK dalam kesempatan berbeda tetapi hanya terpaut beberapa hari saja.
Tak ada habisnya menyorot kasus korupsi di negeri ini. Hari berganti hari, ada saja pejabat negara yang tercoreng integritasnya karena tersandung kasus suap-menyuap.
Lalu bagaimana? Apakah setan gundul korupsi ini tidak bisa diberangus? Jika bisa, apa jurus mautnya? Kalau tidak bisa, siapa 'monster' seram yang ada di belakangnya?
Bisa jadi praktik kotor ini sudah ada sejak manusia bermasyarakat dan mengenal kekuasaan. Praktik memberi hadiah sudah dikenal marak di era kekuasaan ribuan tahun sebelum Masehi dan terus bergulir hingga zaman kontemporer ketika institusi bernama Bank Dunia mulai malang melintang memberikan bantuannya yang menetes ke negara-negara berkembang.
Apabila prinsip 'tujuan menghalalkan segala cara' dianggap sebagai kelaziman atau bahkan kebenaran, selama itu pula praktik busuk kekuasaan bergerak bebas, menerabas pagar-pagar moral, etika, dan sosial-budaya masyarakat.
Jalan pintas dianggap hal yang paling baik. Proses, pembelajaran, dan pendewasaan dituding sebagai ganjalan sistemik dalam meraup kekuasaan serta keuntungan sesingkat-singkatnya.
Awan gelap praktik busuk politisi tamak era kuno terbayang kembali. Dalam masyarakat kuno Mesopotamia, Mesir, Israel atau Yunani, norma yang berlaku adalah bahwa 'resiprositas merupakan aturan hidup bersama. Rantai memberi dan menerima hadiah dianggap sebagai tata bahasa resiprositas.
Praktik suap menyuap juga mulai dikenal di Yunani kuno dengan beberapa istilah seperti 'dorodokeo' (menerima suap), 'dekazo' (menyuap), dan 'dorodokia' (penyuapan). Pada 367 sebelum Masehi, Timagoras—utusan Athena—dihukum mati karena terbukti menerima suap dari raja Persia (Priyono, 2018).
Alih-alih memperkuat posisi negaranya, dia malah memberi keuntungan bagi pihak lawan, karena disuap perabotan mewah dalam jumlah besar.
Sejarah mengenal pula skandal Harpalos yang mengguncang Athena pada 323 SM. Dia adalah menteri keuangan era Alexander Agung (raja Macedonia), yang justru minggat ke negeri seteru, Athena.
Demosthenes, politisi yang banyak lagak tapi jago orasi, usul agar pembangkang negeri musuh tersebut dihabisi saja. Sebagai langkah awal dia menahan aset Harpalos berupa ratusan uang 'talenta' di Acropolis, bangunan ikonik di dataran tertinggi kota Athena.
Suatu hari Si Orator itu pergi ke Athena. Yang mengherankan Harpalos lolos dari kurungan, dan jumlah uang sitaannya di Acropolis berkurang drastis. Dewan polis lalu menggelar investigasi selama enam bulan. Hasilnya Demosthenes jadi tersangka suap.
Sidang digelar dengan melibatkan sedikitnya 1.500 juri. Di hari penentuan nasib, dia pun divonis bersalah. Didenda. Dibuang dari Athena.
Hypereides, lawan politik terdakwa, tak melewatkan kesempatan emas ini untuk mengkanvaskan seteru sekaligus mengatrol pamor dirinya.
"Para juri yang terhormat, seperti telah saya katakan dalam sidang, Anda begitu longgar terhadap para jenderal dan orator yang mengejar keuntungan pribadi. Bukan hukum yang mengizinkan mereka melakukan itu, melainkan sikap lunak dan kemurahan hati Anda.”
Hypereides melanjutkan, “Namun Anda semua berhati-hati dengan menetapkan satu syarat: uang yang mereka ambil [terima] harus demi kepentingan Anda, bukan melawan kepentingan Anda semua."
Dari pidato zaman kuno itu, apa yang tidak tercermin dengan kondisi Indonesia kontemporer? Dua menteri Kabinet Indonesia Maju sudah mengenakan rompi oranye KPK.
Dari kalangan bisnis, pengusaha hitam juga makin tebal saja menghiasi riwayat suap-menyuap. What's next?
Mungkin dianggap terlalu Hollywood bila mengikuti langkah epik Eliot Ness, agen penegak hukum, di The Untouchables. Namun bisa pula belajar dari kisah sukses Gubernur Hong Kong (1971—1982) Sir Murray Mac Lehose yang tak mengenal rasa takut dalam menegakkan hukum yang terkoyak akibat politik uang, mafia, dan korupsi.
Atau Indonesia mungkin mempunyai senjata yang lebih mumpuni?