Bisnis.com, JAKARTA – Menjelang tutup tahun, dinamika politik berputar agak kencang. Dua kasus dugaan korupsi dalam tempo cepat sudah menyambar dua menteri di dua kementerian pula.
Di sisi lain, pagebluk Covid-19 masih jauh dari tuntas. Vaksin penangkalnya pun belum tersedia di pasar meski yang diimpor dari China sudah tiba. Jelang libur Natal dan Tahun Baru, masyarakat tiba-tiba disibukan dengan urusan tes usap dan tes rapid antigen.
Di ujung tahun, Desember, intensitas hujan sudah mulai tinggi. Cuaca tidak lagi terlalu panas. Malah lebih adem. Namun ranah politik nampaknya kian hangat dan mencuri perhatian seiring endusan Komisi Pemberantasan Korupsi tersebut.
Apa jadinya prospek tahun depan, terutama agenda pemulihan ekonomi bila politik bakal gaduh lagi? Semoga saja tidak demikian, karena kegaduhan, apalagi bila berujung konflik, ‘ongkosnya’ sangat mahal bagi soliditas bangsa dalam membangun perekonomiannya.
Di sisi lain membangun keutuhan sebagai bangsa majemuk seperti di negeri ini adalah sebuah tantangan besar. Apa yang sudah dicapai hari ini bukan hasil kerja semalam. Bhineka Tunggal Ika tidak statis. Ia akan kokoh bila unsur-unsur dan berbagai elemen yang menopangnya solid dalam keberagaman.
Tidak semua bangsa dapat melalui proses ini dengan mulus. Indonesia pun memetik banyak pelajaran berharga untuk senantiasa memperkuat ke-bhineka-an ini. Bila abai merawatnya, bingkai persatuan ini bisa pecah berantakan.
Mengapa hal ini perlu dicermati sebagai pijakan NKRI dalam menatap horison baru 2021?
Banyak konflik dan kekejaman di dunia ini dipupuk melalui ilusi tentang adanya sebuah identitas yang tunggal dan tanpa pilihan. ‘Keterampilan’ dalam mengobarkan kebencian, menurut Amartya Sen (2006), diwujudkan dalam upaya menyulut tenaga ajaib dari adanya anggapan tentang suatu identitas dominan yang bisa menenggelamkan afiliasi-afiliasi lainnya.
Peraih Nobel Ekonomi itu menegaskan bahwa dalam bentuknya yang agresif, ilusi ini bahkan bisa mengalahkan rasa simpati dan kebaikan manusiawi apapun yang lazimnya kita miliki. Hasilnya bisa berupa kekerasan buas di dalam negeri maupun keberingasan dan aksi terorisme yang canggih di tataran global.
Dalam pandangan Sen, sesungguhnya sumber utama potensi konflik di dunia kontemporer ini adalah pada pra anggapan bahwa orang bisa secara mutlak dikategorikan berdasarkan agama atau budayanya saja.
Keyakinan yang tersirat dalam klasifikasi tunggal yang serba mutlak ini bisa membuat dunia menjadi panas membara. Peraih International Humanist Award itu juga menekankan bahwa pandangan pemisahan yang serba total ini bukan hanya bertentangan dengan keyakinan kuno bahwa semua manusia pada dasarnya sama.
Lebih dari itu, juga bertentangan dengan pemahaman yang lebih masuk akal meski kurang banyak dibahas, bahwa manusia sungguh-sungguh beraneka satu sama lain. Padahal, hal utama dalam hidup manusia adalah tanggungjawab dalam memilih dan menalar.
Berlawanan dengan itu, kekerasan bisa terjadi akibat tumbuhnya rasa identitas yang diandaikan bersifat kodrati sekaligus tunggal—bahkan kerap bersifat agresif—yang dianggap melekat padi diri manusia. Seolah membebani kita dengan tuntutan yang berat.
Ujungnya, pemaksaan identitas tunggal ini kerapkali merupakan bagian penting dari ‘seni’ memicu pertikaian sektarian.
Pilkada serentak sudah digelar pada 9 Desember lalu. Dari banyaknya daerah yang mengadakan pemilihan, betapa tergambar keberagaman yang tertanam di tubuh Indonesia, yaitu untaian wilayah yang sangat luas tetapi bersatu dalam ikatan NKRI.
Lambang negara, satu bangsa, satu bahasa hingga satu nusa pun niscaya tidak akan sanggup menjaga kelestarian zamrud di khatulistiwa tersebut bila, sekali lagi, semua unsur yang bernaung di bawahnya justru merasa terasing dalam keindonesiaannya.