Bisnis.com, JAKARTA – Besok, Rabu (9/12/2020) digelar pemilihan kepala daerah (pilkada) secara serentak di Indonesia.
Kali ini, pesta demokrasi itu digelar saat kasus Covid-19 di Indonesia tengah melonjak. Pada Kamis (3/12/2020), kasus harian Indonesia naik dari 5.000-an menjadi 8.369 kasus. Sementara itu, per Minggu (6/12/2020), total kasus di Indonesia sudah mencapai 575.796 kasus.
Epidemiolog dari Universitas Indonesia (UI) Tri Yunis Miko Wahyono mengatakan ada kemungkinan lonjakan terjadi karena peningkatan tes Covid-19.
Pada hari itu, memang catatan tambahan spesimen bertambah secara signifikan, dari yang umumnya hanya 20.000 – 40.000 menjadi 62.397 spesimen.
Spesimen tersebut diambil dari tes yang dilakukan kepada 45.479 orang. Selain itu, terungkap pula bahwa ada kesalahan pencatatan data yang terjadi di sejumlah provinsi, sehingga tambahan kasus harian tersebut sesungguhnya merupakan kumulatif dari kasus-kasus yang tak tercatat sebelumnya.
Yunis mencurigai peningkatan kasus juga karena adanya pelaksanaan kampanye menjelang pilkada yang tak mungkin terhindar dari kerumunan.
Baca Juga
“Peningkatan 8.000 ini juga bisa jadi disebabkan oleh kampanye pilkada. Cuma, pemerintah enggak mau terbuka saja. Harusnya terbuka supaya enggak ada yang disalahkan. Supaya jelas, banyak penularan karena pilkada,” kata dia kepada Bisnis beberapa waktu lalu.
Harusnya, di tengah pilkada ini, pemerintah termasuk Satgas Penanganan Covid-19 juga membandingkan kabupaten yang melakukan kampanye pilkada dengan yang tidak, sehingga terlihat bahwa pelaksanaan pesta demokrasi ini betul-betul menyebabkan kenaikan kasus Covid-19.
Calon Kepala Daerah Meninggal
Menurut Yunis, jika pemerintah hendak menggelar pilkada, harusnya siap dari segala sisi. Tapi, apa benar siap?
“Konsekuensi peningkatan kasus Covid-19 harus diambil. Jangan pilkadanya diambil, tapi konsekuensinya ditinggal. Itu tidak fair,” jelasnya.
Berdasarkan penelusuran, sampai September 2020, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mencatat total ada 63 orang bakal pasangan calon yang positif Covid-19 setelah dilakukan tes swab yang menjadi persyaratan mendaftarkan diri ke KPU. Dari jumlah itu, ada tiga orang calon kepala daerah yang meninggal dunia.
Pertama, calon bupati petahana Kabupaten Berau Muharram yang meninggal dunia pada Selasa, 22 September. Kemudian, calon wali kota Bontang Adi Darma yang meninggal dunia pada Kamis, 1 Oktober setelah enam hari dinyatakan positif Covid-19, dan calon bupati Bangka Tengah Ibnu Soleh meninggal pada Minggu, 4 Oktober.
Berdasarkan kasus Covid-19 yang sudah terjadi, Yunis mengatakan, jelas sudah terlambat kalau pilkada dibatalkan. Dia juga menyinggung bahwa ketika Pemilu Presiden 2019, tanpa pandemi sudah banyak petugas KPU dan petugas KPPS yang tumbang, bahkan sampai meninggal. Belum lagi sekarang, tidak semua yang terlibat pemilu dites swab, mungkin tes rapid.
“Rumit lah kalau mikir pilkada. Kalaupun diswab, kalau negatif belum tentu negatif, kalau positif belum tentu positif. Waduh negara ini. Kalau nekat ya nekat, tapi konsekuensinya harusnya diambil juga,” kata dia.
Beberapa konsekuensi yang harusnya jadi pertimbangan juga antara lain jumlah tenaga kesehatan yang makin menipis, dan banyak yang “burn out” mengalami kelelahan kerja. Belum lagi, rumah sakit banyak yang penuh, banyak pasien tak kebagian alat penunjang seperti ventilator.
Berdasarkan catatan Ikatan Dokter Indonesia (IDI) sampai 5 Desember 2020, ada 192 dokter meninggal dunia. Perinciannya, 102 orang dokter umum yang empat di antaranya guru besar, 88 dokter spesialis yang 7 di antaranya guru besar dan 2 dokter residen.
Belum lagi banyak rumah sakit sudah penuh sesak, hingga beberapa melaporkan tak kebagian ventilator untuk pasien-pasien sakit berat.
KPU merilis poster yang isinya menggambarkan pasien positif Covid-19 tetap bisa memilih dalam Pilkada 2020. - Twitetr @kamilmoon
Keterisian ICU
Di DKI Jakarta saja sampai 29 November tercatat keterisian 98 RS rujukannya sudah mencapai 79 persen. Sementara, ICU-nya sudah 74 persen.
Kemudian, di Jawa Tengah beberapa rumah sakit menyatakan sudah penuh dan tak bisa menerima pasien lagi, di antaranya RSUD Kudus dengan kapasitas 119 tempat tidur; RSUP Soeradji Tirtonegoro Klaten sampai harus memulangkan pasiennya yang gejalanya membaik.
Aada pula, RSUD Blora yang kapasitasnya hanya untuk 22 orang sampai harus merawat pasien di ruang IGD, dan RSUD dr Soehadi Prijonegoro dan RSUD dr Soeratno Gemolong di Sragen yang sudah melaporkan tempat yang disediakan untuk perawatan pasien Covid-19 penuh.
Di sisi lain, Satgas Covid-19 terlihat santai mengatakan baru terisi 50 persen dan sebagainya.
Menanggapi hal ini, Yunis menyentil pemerintah agar tidak menutup-nutupi data.
“Saya enggak membantah pernyataan Satgas, tapi pesan saya Jakarta sudah 70 persen, menuju 80 persen. Sudah hampir penuh semua. Kalau ada pertambahan besar apalagi dengan pemilu dan libur panjang, apakah diprediksi semua kab penuh, maka menurut saya bukan hanya kontak tracing yang butuh sukarelawan, tapi dokter, perawat, bidan perlu direkrut sukarelawan kemudian rumah sakit juga harus ditambah,” imbuh Yunis.
Memakai masker salah satu cara mencegah infeksi Virus Corona penyabab Covid-19. JIBI/Bisnis-Nancy Junita
Tambah Rumah Sakit
Salah satu solusi yang diusulkan Yunis adalah dengan membangun dan menambah rumah sakit khusus. Sayangnya, dunia nyata tak seperti kisah Bandung Bondowoso yang bisa membangun candi dalam semalam.
Yunis mengatakan, semua pihak perlu bersiap-siap. kalau perlu provinsi buat rumah sakit darurat, seperti Wisma Atlet, tapi di tiap provinsi. Kemudian, siapkan fasilitas medisnya.
“Kalau tiba-tiba penuh nanti repot, jangan korbankan rakyatnya!” tegasnya.
Meskipun petugasnya pakai baju lengkap, dan mengikuti protokol kesehatan, potensi tertular dan kelelahan tetap ada, dan terbuka lebar.
Yunis berpesan bagi mereka yang memang harus memilih, agar tetap pakai masker, jaga jarak, dan kalau bisa pakai pelindung wajah atau face shield.
“Kalau di TPS tidak jaga jarak, protes! Kalau belum kena kalian enggak merasakan,” tutupnya.