Bisnis.com, JAKARTA – Meskipun hampir setiap hari ada laporan mengenai adanya kekacauan dan perselisihan di Gedung Putih, publik tidak tahu seberapa parah situasi internal yang sebenarnya.
Presiden Donald Trump selalu plin-plan, jarang memberi kepastian dan serba tak menentu. Suasana hati Trump bisa berubah buruk seketika. Hal besar maupun kecil akan membuatnya berang.
Dan ketika kekuasaannya belum genap satu tahun, kemarahannya nyaris membuat ‘kiamat lokal’ di Gedung Putih. “Kita akan menarik diri hari ini,” tegas Trump.
Itulah yang dia katakan mengenai Perjanjian Perdagangan Bebas Korea Selatan—Amerika Serikat atau KORUS. Ancaman sang Presiden sudah dinyatakan dalam bentuk surat tertanggal 5 September 2017 yang ditujukan kepada Presiden Republik Korea, Moon Jae-in (Bob Woodward, 2018).
Konsep surat itu langsung membuat jantung Gary Cohn, mantan bos Goldman Sachs dan penasihat ekonomi utama Presiden di Gedung Putih, berdebar. Dia kaget bukan kepalang.
Kalau surat itu sampai lolos dan ditandatangani sang presiden, wajah dunia bisa berubah. Itulah yang membuat Cohn terpaksa melakukan ‘kudeta administratif’ untuk menghalangi apa yang diyakini sebagai perintah Trump yang paling impulsif dan berbahaya.
Selama berbulan-bulan, Trump mengancam untuk menarik diri dari perjanjian yang merupakan salah satu fondasi hubungan ekonomi, aliansi militer dan, yang terpenting, operasi serta kapabilitas intelijen rahasia.
Dalam karyanya yang terkenal, Fear, Woodward menjelaskan bahwa berdasarkan kesepakatan yang disetujui pada 1950-an, AS menempatkan 28.500 orang prajuritnya di Korea Selatan dan mengoperasikan program yang paling rahasia dan sensitif, yaitu Special Access Programs (SAP).
Program akses khusus ini menyediakan intelijen sandi dan kapabilitas militer rahasia paling mutakhir. Apalagi rudal jarak jauh (ICBM) Korea Utara saat ini punya kemampuan untuk membawa senjata nuklir yang mungkin saja dapat menjangkau hingga ke dataran Amerika.
Sebuah rudal dari Korea Utara akan memakan waktu sekitar 38 menit untuk mencapai Los Angeles. Dengan SAP memungkinkan AS mendeteksi jika ada peluncuran ICBM di Korea Utara dalam waktu hanya tujuh detik.
Program serupa di Alaska memakan waktu 15 menit. Perbedaan waktu yang sangat besar!
Resolute Desk atau meja kepresidenan di Ruang Oval Gedung Putih kerap menjadi saksi bisu bibit-bibit atau bahkan kegemparan langsung dari karakter kepemimpinan Trump dalam berkomunikasi dengan jajaran kabinetnya.
Setelah 20 Januari 2021 bila tak ada aral melintang, Joe Biden akan menjadi penghuni baru Gedung Putih selama empat tahun berikutnya. Tentu akan ada perbedaan gaya kepemimpinan dari pendahulunya.
Banyak pihak memperkirakan perbedaan gaya itu ibarat siang dan malam. Kita lihat saja seperti apa nantinya. Namun bila belum genap setahun berkuasa tetapi sudah hampir membuat blunder yang bisa menyeret ‘malapetaka’ dunia, bisa ditebak style macam apa yang dikedepankan.
Dalam hal KORUS misalnya, belum diketahui juga akan bagaimana sikap Joe Biden. Mempertahankan, merevisi, memodifikasi atau justru membatalkannya. Pasalnya pakta dagang itu identik juga dengan eksistensi SAP.
Mengapa Trump berang? AS memiliki defisit perdagangan sebesar US$18 miliar dengan Korea Selatan dan menghabiskan sedikitnya US$3,5 miliar per tahun untuk mengelola pasukannya di negeri Ginseng tersebut. Nah, apakah ini masalah kecil bagi Biden?
Kemampuan mendeteksi peluncuran rudal dalam waktu tujuh detik akan memberi militer AS untuk menembak jatuh sebuah rudal Korea Utara. Hal ini bisa jadi merupakan operasi paling penting dan paling rahasia dari Washington. Kehadiran AS di Korea Selatan merepresentasikan inti sari dari keamanan nasional.
Penarikan dari perjanjian dagang KORUS, yang oleh Seoul dianggap esensial bagi perekonomiannya, dapat mengakibatkan keruntuhan hubungan secara keseluruhan.
Seperti yang digambarkan oleh mantan Sekretaris Gedung Putih Rob Porter, ada hari-hari atau pekan-pekan saat semua tampak terkendali dan mereka berada beberapa langkah menjauhi tepi jurang.
“Di saat yang lain, kami akan jatuh ke jurang, dan sebuah tindakan harus diambil. Kami seolah-olah senantiasa meniti tepi jurang itu.”