Bisnis.com, JAKARTA – Joe Biden mengusung Made in All of America. Donald Trump masih garang dengan Make America Great Again. Apakah itu yang membedakan ideologi antara Partai Demokrat dan Partai Republik?
Biden, kandidat Partai Demokrat, memenangkan pemilihan presiden Amerika Serikat pada 3 November lalu. Ambisi Trump untuk bisa terpilih lagi pupus sudah. Berarti Partai Republik kali ini harus menelan pil pahit atas kekalahannya.
Adu kuat partai politik tersebut selalu menyita perhatian dunia setiap empat tahun sekali lewat pemilihan presiden. Padahal, bila mau ‘disederhanakan’, orang nomor satu Gedung Putih memang hanya diisi oleh salah satu wakil dari dua kubu saja. Entah itu presiden dari Partai Demokrat atau rivalnya, Partai Republik. Sederhana, bukan?
Tidak usah kita membicarakan politik dalam negeri AS di bawah kekuasaan setiap era kepresidenan. Hal yang jauh lebih menarik adalah bagaimana kebijakan politik luar negeri ketika AS dipimpin oleh presiden dari Partai Demokrat atau sebaliknya, Partai Republik.
Apakah memang ada perbedaan fundamental di antara keduanya? Misalnya saja, apakah Israel pernah dimusuhi oleh Washington karena Gedung Putih lebih suka menjalin hubungan dengan Arab Saudi dan negara-negara Arab kaya minyak lainnya?
Apakah tensi Perang Dagang AS-China akan mereda ketika Joe Biden memimpin AS hingga empat tahun ke depan?
Apakah Washington akan meninggalkan Tel Aviv dan kemudian merangkul Teheran dan Pyongyang, menyusul pemulihan hubungannya dengan Kuba yang dirintis oleh Barack Obama?
Apakah pakta pertahanan Atlantik Utara (NATO), eksponen Perang Dingin yang masih bertahan, akan dibubarkan oleh Biden?
Apakah pertahanan Jepang dan Korea Selatan tidak akan dilindungi lagi oleh Paman Sam?
Tidak usah mundur terlalu jauh untuk membandingkannya. Lihat saja era Obama dan periode Trump. Sejauh mana perbedaan kebijakan keduanya terhadap beberapa agenda penting politik luar negeri AS di atas? Nyaris tidak ada, bukan?
Lebih ‘horor’ lagi bila ingin sedikit bersusah payah melihat histori yang cukup jauh dengan periode kepemimpinan presiden dari Demokrat dan Republik. Hal inilah yang membuat Noam Chomsky (2014) menyampaikan pertanyaan mendasar: Apa sesungguhnya yang diinginkan Paman Sam.
Dasar filosofi modernnya mungkin bisa kita ambil pada momentum usai Perang Dunia II. Mengapa? Karena para pembuat kebijakan di AS menyadari sepenuhnya bahwa negara tersebut muncul dari Perang Dunia II sebagai kekuasaan global pertama dalam sejarah.
Selama dan setelah perang, dengan hati-hati mereka merencanakan cara membentuk dunia pascaperang. Para perencana kebijakan AS sepakat bahwa dominasi AS harus dipertahankan. Namun memang terdapat beragam pendapat dan pendekatan dalam pelaksanaannya.
Entah itu presiden dari Demokrat atau Republik, dia melaksanakan doktrin tersebut sesuai tantangan di zamannya. Zaman boleh berganti tetapi doktrin agung nampaknya berlaku sepanjang masa.
Inilah yang membuat banyak pihak, termasuk pengamat dan analis, melihat bahwa sesungguhnya tidak ada perbedaan warna yang prinsip antara pemerintahan Partai Demokrat dan Partai Republik.
Namun bila masing-masing presiden AS mempunyai gaya tersendiri, hal itu wajar saja dan manusiawi.
Dan memang, salah satu hal yang membingungkan di antara para pemilih adalah eksistensi kedua partai utama tersebut. Meskipun selalu saling menuduh dan menangkis tuduhan satu sama lainnya, sebenarnya memiliki pandangan yang tidak dapat dibedakan terkait dengan kebijakan luar negeri (William Blum, 2013).
Dalam kaitan itu, Blum memperoleh second opinion mengenai sistem pemilu AS dari seorang asing, yaitu pemimpin Kuba, Raul Castro. Menurut Raul, AS mengimpit dua partai politik yang mirip untuk saling bertentangan.
Dia pun berkelakar bahwa pilihan antara Partai Republik atau Partai Demokrat adalah seperti memilih antara dirinya atau kakaknya, Fidel Castro. “Kami dapat mengatakan bahwa di Kuba kami memiliki dua partai. Satu dipimpin oleh Fidel dan satunya lagi dipimpin oleh Raul. Apa yang membedakan keduanya?”
Hal yang serupa, kata Raul, terjadi di AS. “Keduanya sama. Fidel sedikit lebih tinggi daripada saya. Dia punya jenggot, sementara saya tidak,” katanya santai.
Oh, pantas saja kalau begitu. Namun drama politik belum selesai. Bahkan dimulai saja belum. Beri kesempatan Biden menunjukan kebolehannya. Siapa tahu benar-benar beda.