Bisnis.com, JAKARTA – Dampak Covid-19 dan kondisi ekonomi yang terjadi membuat hampir semua sektor mengalami kendala. Begitu pula dengan industri perbukuan.
Jika kalangan indie atau penerbit mandiri bisa "bergerilya" melalui media sosial, penerbit konvensional harus menghadapi hal yang lebih dari sekadar bertahan.
Anjloknya angka penjualan buku menjadi realitas yang harus dihadapi, salah satunya oleh penerbit Republika.
“Penjualan buku Republika anjlok karena selama ini sebagian besar distribusi melalui toko fisik konvensional termasuk yang berjaringan seperti gramedia, “ tutur Arys Hilman Nugraha, Direktur PT Pustaka Abdi Bangsa, brand Republika Penerbit.
Arys menyebutkan toko-toko tersebut kebetulan tutup karena PSBB.
“Kalaupun buka, jumlah pengunjungnya sangat sedikit. Pendapatan dari toko-toko konvensional ini tinggal seperempat capaian tahun lalu,” ujar Arys, Senin (9/11/2020) malam.
Baca Juga
Seperti penerbit buku lainnya di Indonesia, selain penjualan reguler, pameran biasanya diandalkan untuk menggenjot penjualan. Namun, kondisi pandemi membuat pameran harus berubah format menjadi pameran secara online atau daring.
“Tahun ini pameran-pameran ditiadakan atau diganti dengan pameran daring. Nah pendapatan dari pasar daring, walaupun tumbuh, belum dapat menggantikan pendapatan dari toko konvensional,” urai Arys.
Lokapasar
Marketplace atau lokapasar menjadi alternatif penjualan berbagai produk di era pandemi. Hal itu juga dimanfaatkan untuk penjualan buku.
“Penjualan melalui lokapasar tumbuh signifikan hingga tiga kali lipat,” ujar Arys.
Masalahnya, secara total, nilai penjualan dari lokapasar belum sebanding dengan penurunan penjualan luring.
“Tapi kami sudah bersiap untuk kondisi perbukuan yang benar-benar baru pascapandemi. Situasi tidak akan kembali ke normal yang dulu. Sebagian konsumen akan berubah habit belanja bukunya setelah menikmati pembelian buku di era pandemi. Siapa tahu era ini melahirkan kelompok baru pembeli buku tanpa mengurangi pengunjung toko fisik,” ujar Arys.
Digitalisasi
Arys menambahkan bahwa pandemi membuat disrupsi teknologi bergerak lebih cepat. Industri perbukuan nasional pun harus merespons kondisi ini.
“Tidak ada pilihan bagi industri buku selain meningkatkan kapasitasnya di bidang digital untuk mengubah tantangan menjadi peluang,” ujarnya.
Arys berpandangan ke depan semua fase dalam industri perbukuan akan semakin terhubung dengan teknologi dan terutama digitalisasi.
“Mulai dari proses akuisisi naskah hingga distribusi buku. Hanya penerbit yang mampu memahami jalannya perubahan yang dapat survive,” tegas Arys.
Buku Cetak dan Self Publishing
Di sisi lain, Arys menyebutkan bahwa buku cetak masih menjadi pilihan masyarakat.
“Kendati mengalami terpaan disrupsi, buku cetak tetap menjadi pilihan utama masyarakat yang sulit tergantikan. Bahkan buku kertas menjadi validasi bagi keberhasilan setiap karya tulis. Rasanya belum afdal sebuah karya buku, kalau belum diterbitkan dalam format cetak,” ujar Arys.
Terkait munculnya buku yang diterbitkan secara mandiri atau self publishing, Arys menilai sektor ini akan semakin tumbuh dengan adanya dukungan teknologi.
“Namun, penerbit dalam kategori ini akan datang dan pergi secara bergantian sehingga dampaknya tidak bisa massif,” ujar Arys.
Menurut Arys bagaimana pun penerbitan memerlukan kelengkapan pranata untuk bisa berkelanjutan. Penerbitan tidak bisa hanya mengandalkan satu-dua judul best seller atau satu-dua penulis beken.
“Akan ada kebutuhan regenerasi penulis, pengelolaan inventori, penanganan collection, atau urusan pengembangan pasar. Hal itu cukup rumit untuk ditangani dan memerlukan pendekatan profesional jangka panjang,” ujar Arys.