Bisnis.com, JAKARTA – Peneliti menilai kebijakan luar negeri Presiden Joko Widodo pada periode kedua lebih pragmatis.
Hal itu diungkapkan dalam diskusi bertajuk "Evaluasi Politik Luar Negeri & Perubahan Ekonomi Global" yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Minggu (1/11/2020).
Peneliti dari Universitas Indonesia Dwi Ardhanariswari mengatakan ada kecenderungan pragmatisme Indonesia dengan keterlibatan Jokowi di tingkat ASEAN.
Awalnya, Indonesia melihat organisasi antarnegara di Asia Tenggara seperti kerja sama kawasan setengah hati. Namun, pada periode kedua Jokowi, Indonesia mulai melirik ASEAN dengan lebih serius.
"RI bahkan berniat mengambil peranan penting dalam chairmanship ASEAN pada 2023," katanyaa seperti dikutip dalam siaran pers, Senin (2/11/2020).
Peneliti LP3ES Imam Nur Iman Subono menyinggung pragmatisme Jokowi dalam menjalankan kebijakan politik luar negeri di periode kedua pemerintahan.
Dia mengaitkannya dengan persona Jokowi yang memang bukan berasal dari kalangan elit politik seperti presiden sebelumnya.
"Background-nya yang berasal dari kalangan pengusaha membuat Jokowi membawa perspektif pragmatisme ke dalam berbagai kebijakan luar negeri RI," imbuhnya.
Selanjutnya, Peneliti LP3ES Gerardi Yudhistira sosok Jokowi sebagai Presiden RI justru bukan tokoh utama politik luar negeri Indonesia.
Pada periode pertama, lanjutnya, Jokowi beruntung karena didampingi tokoh intelektual politik luar negeri, seperti Jusuf Kalla.
Namun, porsi tersebut berkurang dan tidak bisa digantikan oleh Wakil Presiden Ma'ruf Amin.
"Jokowi mau tidak mau harus terlibat lebih dalam hal menjalin hubungan dengan negara lain. Bukan hal yang mengejutkan kalau pragmatisme ala pengusaha terasa semakin kental dalam kebijakan luar negeri RI," jelasnya.
Terkait kebijakan penanganan Covid-19, Dwi Ardhanariswari menyarankan RI mempererat hubungan multilateral menjadi skala global. Terlepas dari seburuk apa hubungan antar-negara sebelum pandemi, negara-negara dituntut untuk saling bekerja sama.
Hal itu juga berlaku untuk sektor swasta. Indonesia juga terlibat dalam skenario global ini dengan menjalin hubungan dengan negara-negara lain untuk produksi vaksin corona.
"Di sisi lain, kondisi ini justru melemahkan posisi Indonesia, terutama dalam upaya untuk mempromosikan perdamaian dunia," ungkapnya.