Bisnis.com, JAKARTA – Hubungan antara Indonesia dan China terus meningkat dalam beberapa tahun terakhir, khususnya di era pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) M. Zulfikar Rahmat menyoroti pragmatisme dari kebijakan politik luar negeri Indonesia yang diambil pada periode kedua kepemimpinan Jokowi.
Hal itu diungkapkan dalam diskusi bertajuk "Evaluasi Politik Luar Negeri & Perubahan Ekonomi Global" yang digelar Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) pada Minggu (1/11/2020).
"Terlihat agresivitas China dalam menyebarkan pengaruh mereka di Indonesia. Mereka menjalin kerja sama dengan menitikberatkan pada keuntungan yang diperoleh," katanya seperti dikutip, Senin (2/11/2020).
Zulkifar menilai kecenderungan Jokowi kepada pemerintahan Presiden Xi Jinping terlihat dari proyek kereta cepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya.
Menurutnya, China yang memerlukan kerja sama dengan Indonesia. Bukan sebaliknya seperti yang terjadi saat ini.
"Oleh karena itu, pekerja migran dari China bisa dihindari," ungkap Zulfikar.
Dia menilai pemerintahan Jokowi pada periode kedua seharusnya bisa memperkuat posisi dalam diplomasi internasional, khususnya dengan negara besar seperti China.
Terlepas dari relasi hangat dengan China maupun Uni-emirat Arab, peneliti tersebut menilai Indonesia tetap memiliki posisi tawar yang lebih kuat.
Sebelumnya diberitakan, sebanyak 450 orang warga negara asing asal China bekerja di Kawasan Ekonomi Khusus Galang Batang, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau yang dikelola PT Bintan Alumina Indonesia (BAI).
Para pekerja asal China itu memiliki keahlian di berbagai bidang untuk membangun PLTU dan smelter di Galang Batang. Pembangunan PLTU di lokasi perusahaan ditargetkan selesai pada November 2020, sedangkan pembangunan smelter pada Januari 2021 sudah beroperasi.