Bisnis.com, JAKARTA - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, secara resmi mengabarkan bahwa mantan Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari berstatus bebas pada hari ini, Sabtu (31/10/2020), setelah menjalani hukuman pidana penjara selama 4 tahun di Rutan Kelas I Pondok Bambu, Jakarta.
"Dibebaskan karena telah selesai menjalani pidana pokok, pidana Denda dan Pidana tambahan uang pengganti telah dibayarkan ke negara," demikian tertulis dalam keterangan resmi Kemenkumham.
Berdasarkan catatan Bisnis, Siti Fadillah divonis 4 tahun penjara oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Jumat, (16/6/2017), karena terbukti menerima gratifikasi sebesar Rp 1,9 miliar dalam perkara korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Kementerian Kesehatan.
Selain diganjar 4 tahun bui, Siti Fadillah harus membayar denda Rp 200 juta subsider 2 bulan kurungan ditambah harus membayar uang pengganti Rp 550 juta subsider 6 bulan kurungan.
Vonis ini lebih ringan dibanding tuntutan jaksa penuntut umum KPK yang meminta agar Siti Fadillah divonis 6 tahun penjara ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp 1,9 miliar subsider 1 tahun kurungan.
Hakim menilai, Siti Fadillah terbukti melakukan tindak pidana korupsi dalam dua kasus yaitu pertama, menyalahgunakan kewenangan dalam proyek alkes dengan menunjuk langsung PT Indofarma Global Medika Tbk. Akibatnya kerugian keukeangan negara mencapai Rp 5,783 miliar. Kerugian negara ini adalah keuntungan PT Mitra Medidua yang merupakan suplier alkes PT Indofarma.
PT Indofarma Global Medika ditunjuk Siti sebagai rekanan untuk melaksanaan pengadaan buffer stock tersebut. Direktur perusahaan itu, Ary Gunawan, datang bersama dengan Ketua Sutrisno Bachir Foundation (SBF) Nuki Syahrun yang juga adik ipar mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) Sutrisno Bachir.
Nuki Syahrun kemudian menghubungi Direktur Utama PT Mitra Medidua Andi Krisnamurti yang merupakan suami Nuki, Rizaganti Syahrun, untuk menjadi suplier alkes PT Indofarma. Namun jaksa penuntut umum menilai bahwa keuntungan PT Indofarma juga merupakan kerugian negara. Sedangkan hakim mengangap keuntungan PT Indofarma bukanlah kerugian negara.
PT Indofarma menerima pembayaran Rp 13,9 miliar setelah dikurangi pajak dari jumlah tersebut dibayar ke PT Medidua. Sehingga mendapat selisih Rp 364 juta dan PT Mitra Medidua mendapat Rp 5,783 miliar. "Selisih PT Indofarma sebesar Rp 364 juta bukan kerugian negara karena PT Indofarma adalah BUMN yang sumber keuangannya berasal dari negara. Selisih uang yang diterima PT Indofarma adalah uang negara yang ditempatkan di PT Indofarma karena keuangan negara termasuk yang ditempatkan di BUMN sesuai dengan UU Tipikor," kata hakim.
Dalam dakwaan kedua, Siti Fadillah dinilai menerima suap sebesar Rp 1,9 miliar karena telah menyetujui revisi anggaran untuk kegiatan pengadaan alkes I serta memperbolehkan PT Graha Ismaya sebagai penyalur pengadaan alat tersebut.
Suap itu berupa Mandiri Traveller Cheque (MTC) sejumlah 20 lembar senilai total Rp 500 juta dari Sri Rahayu Wahyuningsih selaku manager Institusi PT Indofarma Tbk dan dari Rustam Syarifudin Pakaya selaku Kepala Pusat Penanggulangan Krisis atau PPK Depkes yang diperoleh dari Dirut PT Graha Ismaya Masrizal sejumlah Rp 1,4 miliar juga berupa MTC. Sehingga total yang diterima Siti Fadillah Supari Rp 1,9 miliar.
Adapun, kini Siti Fadillah telah diserahterimakan dari pihak Rutan Kelas I Pondok Bambu ke pihak kuasa hukum yakni Kholidin dan Tia putri. "[serah terima] berjalan lancar sesuai protokol kesehatan," demikian keterangan Kemenkumham tersebut.