Bisnis.com, JAKARTA - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan Karyoto atas dugaan pelanggaran Kode Etik dan Pedoman Perilaku ke Dewan Pengawas KPK.
Pelaporan pelanggaran etik ini berkaitan dengan kasus pelanggaran etik (Operasi Tangkap Tangan) OTT UNJ beberapa waktu lalu.
Berdasarkan petikan putusan Apz (Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK), diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh Firli dan Karyoto.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana mengatakan setidaknya terdapat empat dugaan pelanggaran kode etik yang terjadi.
Pertama, kata Kurnia, Firli Bahuri bersikukuh untuk mengambil alih penanganan yang saat itu dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Padahal, kata Kurnia, Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK sudah menjelaskan bahwa setelah Tim Pengaduan Masyarakat melakukan pendampingan, ternyata tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara.
Baca Juga
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK, maka tidak memungkinkan bagi KPK untuk menindaklanjuti kejadian tersebut.
Kedua, Firli Bahuri menyebutkan bahwa dalam pendampingan yang dilakukan oleh Tim Pengaduan Masyarakat terhadap Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan telah ditemukan tindak pidananya.
"Padahal ia [Firli] diduga tidak mengetahui kejadian sebenarnya. Sehingga menjadi janggal jika Firli langsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh KPK," kata Kurnia dalam keterangannya, Senin (26/10/2020).
Ketiga, lanjut Kurnia, tindakan Firli Bahuri dan Karyoto saat menerbitkan surat perintah penyelidikan dan pelimpahan perkara ke Kepolisian diduga tidak didahului dengan mekanisme gelar perkara di internal KPK.
Padahal, ucap Kurnia, dalam aturan internal KPK telah diatur bahwa untuk dapat melakukan dua hal tersebut mesti didahului dengan gelar perkara yang diikuti oleh stakeholder kedeputian penindakan serta para Pimpinan KPK.
"Keempat, tindakan Firli Bahuri untuk mengambil alih penanganan yang dilakukan oleh Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan diduga atas inisiatif pribadi tanpa melibatkan atau pun mendengar masukan dari Pimpinan KPK lainnya. Padahal Pasal 21 UU KPK menyebutkan bahwa Pimpinan KPK bersifat kolektif kolegial," ujarnya.
Untuk itu, berdasarkan hal di atas ICW menduga tindakan keduanya telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
Kurnia mengatakan ICW mendesak agar Dewan Pengawas menyelenggarakan sidang dugaan pelanggaran kode etik yang dilakukan oleh Firli Bahuri dan Karyoto.
"Dewan Pengawas memanggil dan meminta keterangan dari keduanya serta saksi-saksi lainnya yang dianggap relevan dengan pelaporan ini," katanya.
Kemudian, ICW juga mendesak agar Dewas KPK menjatuhkan sanksi kepada Firli Bahuri dan Karyoto.
Selain ketiga dorongan di atas, dia juga mengingatkan kembali 2 (dua) pelanggaran etik yang telah terbukti dilakukan oleh Firli Bahuri.
Pada 2018, ketika menjabat sebagai Deputi Penindakan KPK, Firli Bahuri diketahui bertemu dengan Tuan Guru Bajang. Pelanggaran etik yang terkini adalah, Firli Bahuri terbukti menggunakan moda transportasi mewah berupa helikopter pada sekitar bulan Juni 2020.
"Untuk itu, Dewan Pengawas semestinya dapat menjatuhkan sanksi lebih berat, berupa pemberhentian dengan tidak hormat terhadap yang bersangkutan," ujarnya.