Bisnis.com, JAKARTA - Dominasi pebisnis yang mencapai 55 persen dari 575 anggota DPR berpotensi memicu konflik kepentingan dalam setiap pembuatan undang-undang selain mengukuhkan oligarki politik untuk kepentingan para pengusaha.
Demikian kesimpulan yang dapat diambil dalam diskusi webinar yang diselenggarakan oleh lembaga Marepus Corner dengan tajuk “Peta Bisnis di Parlemen, Potret Oligarki di Indonesia” hari ini, Jumat (9/10/2020).
Diskusi itu menampilkan nara sumber para peneliti dari Pusat Penelitian Politik (P2P) LIPI masing-masing Defbry Margiansyah, Yogi Setya Permana, Bima Yudhistira dari INDEF.
Menurut Defbry Margiansyah, dengan adanya 55 persen anggota DPR berstatus pebisnis yang tersebar di semua komisi, dan semua fraksi, maka konflik kepentingan dalam menjalankan tugas pokok mereka semakin tinggi.
Alasannya, karena ada keterkaitan antara bidang bisnis yang mereka geluti dengan penempatan mereka di komisi DPR.
Keterkaitan antara bisnis dan kekuasaan politik itu, ujarnya, jelas memengaruhi agenda pembahasan setiap produk legislasi di DPR.
Baca Juga
Defbry mencontohkan Komisi VII DPR membidangi sektor energi yang didalamnya terdapat para pengusaha energi yang ikut membahas regulasi.
Jumlah mereka secara proporsional juga sesuai dengan kekuatan politik pemenang pemilu seperti PDIP, Golkar dan Gerindra.
Namun demikian, Defbry tidak menyebut siapa saja mereka yang berlatar pebisnis di bidang energi tersebut serta turut memengaruhi pengambilan keputusan.
“Adanya keterkaitan antara bidang usaha yang dimiliki serta penempatan komisi para pebisnis di DPR mengindikasikan kerentanan agenda kerja komisi-komisi terhadap kepentingan bisnis tertentu,” ujarnya.
Dia menambahkan, bahwa hal itu terjadi karena tidak ada aturan yang mengatur soal penempatan tersebut.
Selain itu, dominasi para pebisnis di DPR berpotensi kian mengukuhkan konsentrasi kekuasaan oligarki dalam proses pembuatan kebijakan.
Produk kebijakannya pun menitikberatkan pada kepentingan ekonomi bisnis dan cenderung mengabaikan keadilan sosial, lingkungan, termasuk partisipasi publik yang inklusif, katanya.
“Konsentrasi kekuasaan tersebut mengindikasikan agenda politik demokratis berbasisl nilai di parlemen akan semakin berat diperjuangkan ketika berhadapan dengan kepentingan politik bisnis dari jejaring oligarki,” ujar Defbry.
Sementara itu, peneliti dari INDEF, Bima Yudhistira mengatakan sudah saatnya diatur soal penempatan para anggota DPR di komisi yang tidak berkonflik dengan posisi mereka sebagai pebisnis.
Pebisnis dalam bidang tertentu seharusnya tidak boleh ditempatkan di bidang bisnis yang digelutinya sebagaimana di parlemen negara lain, termasuk Amerika Serikat.
Menurutnya, para anggota DPR akan berdalih dimana masalahnya kalau pebisnis merangkap sebagai anggota DPR. Akan tetapi, oligarki di banyak negara bisa dilakukan secara elegan.
“Mereka melakukan tekanan pada regulasi dengan cara halus dengan membuat yayasan, tetapi tidak terlibat langsung dalam pembuatan kebijakan dan keputusan,” ujar Bima.
Dia menilai sekarang konflik kepentingan di parlemen maupun di pemerintahan mulai kasar, bahkan ekstrem. Bahkan, para pemain oligarki bukan saja dari kalangan tua, tapi sudah dilakoni kalangan usia muda dengan menggunakan kekuasaan modal.
“Di Indonesia ada fenomena para pengusaha yang masih aktif berusaha menjadi staf khusus dan jadi menteri. Mereka masih punya usaha yang terkait dengan jabatannya. Ini sudah ekstrim,” katanya.