Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

3 Pernyataan Sikap AJI Kecam Pengesahan Omnibus Law UU Cipta Kerja

Pemerintah Joko Widodo sendiri sejak awal memang menggadang-gadang Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini untuk menggenjot investasi.
Ilustrasi - Sejumlah Jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan aksi pada saat peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) di depan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2019)./ANTARA-Reno Esnir
Ilustrasi - Sejumlah Jurnalis yang tergabung dalam Aliansi Jurnalis Independen (AJI) melakukan aksi pada saat peringatan Hari Buruh Internasional (Mayday) di depan Patung Kuda, Jakarta, Rabu (1/5/2019)./ANTARA-Reno Esnir

Bisnis.com, JAKARTA – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mengeluarkan pernyataan sikap atas disahkannya Omnibus Law RUU Cipta Kerja pada Senin (5/10/2020).

Ada 3 poin pernyataan sikap AJI yang disampaikan Ketua Umum AJI Abdul Manan dan Sekjen AJI Revolusi Riza, Rabu (7/10/2020).

Berikut pernyataan sikap AJI:

1. Mengecam pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja

AJI menilai RUU Cipta Kerja disah karena dilakukan secara tergesa-gesa, tidak transparan dan mengabaikan aspirasi publik. Pembahasan undang-undang dipersoalkan sejak awal, karena rendahnya partisipasi publik dalam pembahasannya, terutama dari kelompok yang terdampak langsung dari regulasi tersebut, di antaranya adalah buruh.

Pertanyaan soal partisipasi itu makin besar, karena DPR dan pemerintah ngotot tetap melakukan pembahasan pada saat negara ini menghadapi pandemi.

“Saat undang-undang ini disahkan, kasus infeksi sudah lebih dari 311.000 dan lebih dari 11.000 meninggal,” ujar Abdul Manan.

Sikap ngotot pemerintah dan DPR ini menimbulkan pertanyaan soal apa motif sebenarnya dari pembuatan undang-undang ini.

“Kami menilai bahwa pembahasan yang cenderung tidak transparan dan mengabaikan aspirasi kepentingan publik ini karena pemerintah ingin memberikan insenstif yang besar kepada pengusaha agar investasi makin besar meski mengorbankan kepentingan buruh dan membahayakan lingkungan hidup,” ujarnya lagi.

Pemerintah Joko Widodo sendiri sejak awal memang menggadang-gadang Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja ini untuk menggenjot investasi.

2. Mengecam pengesahan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja.

Alasannya, karena merevisi pasal-pasal dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan yang justru mengurangi kesejahteraan dan membuat posisi buruh lebih lemah posisinya dalam relasi ketenagakerjaan.

“Hal ini ditunjukkan dari revisi sejumlah pasal tentang pengupahan, ketentuan pemutusan hubungan kerja, ketentuan libur dan pekerja kontrak,” kata Revolusi.

Omnibus law, katanya, membolehkan PHK dengan alasan efisiensi, perusahaan melakukan penggabungan, peleburan atau pemisahan. Padahal, putusan Mahkamah Konstitusi pada 2012 melarang PHK dengan alasan efisiensi.

Omnibus Law juga menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak dan menyerahkan pengaturannya melalui peraturan pemerintah. Praktik ini tentu saja bisa merugikan pekerja media yang cukup banyak tidak berstatus pekerja tetap. Ketentuan baru ini membuat status kontrak semacam ini akan semakin luas dan merugikan pekerja media.

Revolusi menegaskan, bahwa Omnibus law juga mengurangi hari libur, dari semula bisa dua hari selama seminggu, kini hanya 1 hari dalam seminggu.

Pasal soal cuti panjang juga dihapus dan menyebut soal pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

“Ketentuan soal ini juga disebut harus diatur dalam perjanjian kerja bersama. Padahal, kita tahu bahwa mendirikan serikat pekerja di media itu sangat besar tantangannya, sehingga sebagian besar media kita tidak memiliki serikat pekerja,” tukasnya.

 Selain itu, Omnibus Law juga menghapus pasal sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan.

Ini bisa menjadikan kesejahteraan jurnalis makin tidak menentu karena peluang pengusaha memberikan upah layak semakin jauh karena tidak ada lagi ketentuan soal sanksi.

3. Mengecam pengesahan Omnibus Law

Alasan AJI adalah, karena merevisi Undan- Undang Penyiaran dengan ketentuan baru yang tidak sejalan dengan semangat demokratisasi di dunia penyiaran.

Omnibus Law ini akan membolehkan dunia penyiaran bersiaran secara nasional, sesuatu yang dianggap melanggar oleh Undang-Undang Nomor 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

Padahal, larangan siaran nasional ini justru untuk mendorong semangat demokratisasi penyiaran, yaitu memberi ruang pada budaya dan ekonomi lokal bertumbuh.

Omnibus Law juga memberi kewenangan besar kepada pemerintah mengatur penyiaran. Sebab, pasal 34 yang mengatur peran KPI dalam proses perijinan penyiaran, dihilangkan.

Dihapusnya pasal tersebut juga menghilangkan ketentuan batasan waktu perizinan penyiaran yaitu 10 tahun untuk televisi dan 5 tahun untuk radio dan juga larangan izin penyiaran dipindahtangankan ke pihak lain.

Abdul Manan menjelaskan, ketentuan penting lain yang diubah Omnibus Law adalah diberikannya wewenang migrasi digital sepenuhnya kepada pemerintah.

“Padahal migrasi digital bukan hanya semata alih teknologi tetapi juga perubahan tata kelola penyiaran yang selayaknya diatur negara pada tingkat UU, bukan di peraturan pemerintah,”tambahnya.

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Penulis : Nancy Junita
Editor : Nancy Junita
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper