Bisnis.com, JAKARTA — PT Pos Indonesia (Persero), badan usaha milik negara di bidang penyelenggaraan pos, menggugat ketentuan layanan pos universal karena membebaskan perusahaan swasta dari program tersebut.
Layanan pos universal (LPU) menurut UU No. 38/2009 tentang Pos (UU Pos) diartikan sebagai layanan pos jenis tertentu yang wajib dijamin oleh pemerintah untuk menjangkau seluruh wilayah NKRI. Dengan LPU, masyarakat dimungkinkan untuk mengirim dan/atau menerima kiriman dari satu tempat ke tempat lain di dunia.
Dalam Pasal 15 UU Pos, pemerintah menugaskan penyelenggara pos untuk menggarap LPU. Pemerintah juga diamanatkan untuk memberikan subsidi berbasis wilayah.
UU Pos tidak membeda-bedakan penyelenggara pos yang mengerjakan LPU. Klasifikasi penyelenggara pos meliputi badan usaha milik negara (BUMN), badan usaha milik daerah (BUMN), swasta, maupun koperasi.
Meski demikian, PT Pos Indonesia menilai perusahaan pos non-BUMN tidak berkenan menyelenggarakan LPU. Sebaliknya, Pos Indonesia diharuskan berdasarkan ketentuan Pasal 50 UU Pos untuk menggarap layanan tersebut.
Perbedaan perlakuan tersebut menggiring Pos Indonesia untuk menggugat norma yang mengatur LPU dalam UU Pos. Perusahaan pelat merah tersebut meminta kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk membatalkan Pasal 15 ayat (2)-ayat (5) UU Pos.
Tegar Yusuf, kuasa hukum Pos Indonesia, menjelaskan bahwa saat ini kliennya kehilangan hak eksklusif sebagai satu-satunya penyelenggara pos. Alasannya, Pasal 1 angka 2 UU Pos membuka penyelenggaraan pos kepada semua jenis usaha sepanjang memenuhi persyaratan.
“Di sisi lain, pemohon sebagai pos negara masih dibebani kewajiban menyelenggarakan pelayanan umum,” katanya dalam berkas permohonan yang diajukan di Jakarta, Jumat (11/9/2020).
Sebelum UU Pos berlaku, tanggung jawab LPU sepenuhnya dilakukan oleh negara. Adapun, Pos Indonesia bertindak sebagai operator dengan mendapatkan kucuran pembiayaan dari anggaran negara.
Menyusul pengundangan UU Pos, Pos Indonesia diamanatkan selama 5 tahun (2009—2014) untuk menjaga kesinambungan LPU. Sesudah jangka waktu tersebut berakhir, seluruh penyelenggara pos mendapatkan kesempatan yang sama untuk menggarap LPU.
Faktanya, kata Tegar, sejak 2014 sampai saat ini tidak ada satu pun perusahaan swasta yang mengikuti program tersebut. Mau tak mau Pos Indonesia ditugaskan kembali untuk mengerjakan LPU.
Lantaran tidak menguntungkan, Tegar mengklaim kliennya selalu mengalami defisit saat menggarap LPU. Subsidi APBN berbasis PSO kepada Pos Indonesia tidak mampu menutup biaya.
“Kekurangan pembiayaan LPU dari PSO akan ditutupi dari pendapatan perusahaan yang berasal dari layanan pos komersial,” kata Tegar.
Kerugian Pos Indonesia sejak berlakunya UU Pos sudah diprediksi oleh pembuat UU. Oleh karena itu, Pasal 51 beleid tersebut mengamanatkan 'upaya penyehatan’ Pos Indonesia untuk mempersiapkan diri menghadapi pembukaan akses pasar.
Meski demikian, Pos Indonesia menganggap Pasal 51 UU Pos belum dilaksanakan. Peraturan turunan hanya menyebutkan ‘penyehatan korporasi’ tanpa secara konkret mengatur bentuknya.
Kepada MK, Pos Indonesia meminta 'upaya penyehatan' Pasal 51 UU Pos mengadopsi konsep restrukturisasi BUMN sebagaimana diatur dalam Pasal 72 dan Pasal 73 UU No. 19/2003 tentang Badan Usaha Milik Negara. Terhadap Pasal 1 angka 2 dan Pasal 15 ayat (2)-ayat (5), pemohon meminta MK membatalkan materi-materi tersebut karena dianggap inkonstitusional.
Dalam berkas permohonan, Pos Indonesia ditemani oleh seorang pengguna pos bernama Harry Setya Putra. Meski dalam gugatan yang sama, Harry secara terpisah menguji Pasal 1 angka 8 UU Pos dengan permintaan agar MK mengatur kerahasiaan surat dari pemeriksaan penyelenggara pos.