Bisnis.com, JAKARTA — Wacana peningkatan status kelembagaan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai organ yang diatur dalam konstitusi semakin mendapatkan tempat di kalangan praktisi hukum.
Mantan Hakim Konstitusi Maruarar Siahaan mengusulkan pengadopsian konsep pemisahaan kekuasaan baru (new separation of powers). Di samping pemisahaan cabang kekuasaan eksekutif-legislatif-yudikatif, perlu ada cabang kekuasaan terkait integritas (integrity branch).
Menurut Maruarar, konsep tersebut telah dikaji di sejumlah negara maju menyusul masalah sosial tak terselesaikan seperti korupsi. Di Indonesia, kata dia, cabang kekuasaan integritas itu bisa diisi oleh lembaga seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), hingga komisi-komisi.
“KPK perlu diangkat ke atas sebagai organ konstitusi,” katanya dalam sidang perkara pengujian konstitusionalitas UU KPK hasil revisi di Jakarta, Rabu (9/9/2020).
Pengusulan KPK sebagai organ konstitusi sempat mengemuka dalam sidang pengujian UU KPK terdahulu. Lembaga antirasuah itu eksis di Tanah Air sejak 2003 berkat payung hukum UU No. 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK).
Mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas mengingatkan kembali bahwa lembaga antirasuah tersebut lahir berkat semangat moral Reformasi 1998. Dalam UUD 1945 hasil amandemen, institusi baru bidang yudisial dilahirkan setelah runtuhnya Orde Baru yakni Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Yudisial (KY).
“Tiga-tiganya lahir dari gerakan moral Reformasi sebagai kritik rezim otoriter yang anti-HAM, tapi KPK baru diatur dalam level UU. Sudah saatnya KPK ditaruh dalam level konstitusi,” katanya, Rabu (12/2/2020).
Dengan menjadi organ konstitusi, Busyro berpendapat kelembagaan dan kewenangan KPK tidak mudah dilemahkan. Indikasinya, berkali-kali UU 30/2002 hendak diubah baik melalui proses legislasi maupun uji materi.
Kerentanan itu akhirnya terbukti dengan lahirnya UU No. 19/2019 sebagai revisi kedua atas UU 30/2002. Menurut Busyro, fakta empiris tersebut sudah seharusnya menyadarkan para pengambil kebijakan untuk mengatur KPK dalam UUD 1945.
“Beberapa kali UU KPK coba direvisi. Ada yang gagal tapi kali ini [lewat UU 19/2019] mencapai ‘cerita sukses’ yang luar biasa,” sindir mantan Ketua KY ini.
Senada dengan Busyro, mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM Denny Indrayana berpandangan bahwa pengaturan dalam UUD 1945 bakal menguatkan kelembagaan KPK. Sebagai pembanding, institusi pemberantas korupsi di negara-negara Asean diatur dalam konstitusinya masing-masing.
“Hanya di Indonesia dasarnya UU sehingga rentan diutak-atik,” katanya dalam kesempatan yang sama.
Kendati UUD 1945 belum mengatur KPK, Denny meyakini bahwa konstitusi Indonesia mengandung nilai-nilai moralitas antikorupsi. Namun, ketiadaan norma khusus KPK dalam konstitusi memungkinkan pelemahan lembaga antirasuah tersebut.
“Sekarang perizinan penyadapan, penggeledahan, dan penyitaan harus melalui Dewan Pengawas. Pegawai diturunkan menjadi PNS. Independensinya jelas berbeda,” tuturnya.