Bisnis.com, JAKARTA - Ekspor China meningkat pada Juli karena aktivitas ekonomi di seluruh dunia mulai pulih dan volume pengiriman ke Amerika Serikat mulai melonjak naik.
Sayangnya, impor secara tak terduga mengalami kontraksi karena penurunan harga komoditas dan kerapuhan pemulihan ekonomi Negeri Panda tersebut. Ekspor Juli naik 7,2 persen dari tahun sebelumnya, sementara impor turun 1,4 persen.
Kondisi ini memperbesar surplus perdagangan menjadi US$62,33 miliar di bulan tersebut. Ekonom memperkirakan bahwa ekspor akan turun 0,6 persen, sementara impor akan meningkat 0,9 persen.
Hubungan AS dan China semakin memburuk baru-baru ini akibat rentetan masalah mulai dari penutupan konsulat, larangan untuk TikTok, dan perselisihan atas Hong Kong dan Taiwan.
Seiring dengan ketegangan geopolitik yang meningkat memicu kekhawatiran global akan Perang Dingin yang baru, banyak perusahaan yang mengenjot permintaan.
"Jalan di depan mungkin bergelombang karena pesanan ekspor baru tetap lemah dan jalur pemulihan akan tidak merata di seluruh ekonomi," kata Louis Kuijs, Kepala Ekonomi Asia di Oxford Economics di Hong Kong.
"Impor sedikit mengecewakan, tetapi karena harga komoditas masih turun secara substansial dari tahun lalu, ini berarti volume impor terus meningkat," katanya.
Ekspor ke AS naik 12,5 persen dari tahun lalu, pertumbuhan terbesar sejak 2018. Ekonom OCBC di Singapura Tommy Xie mengatakan besarnya pertumbuhan ekspor tersebut kemungkinan dipicu oleh kegiatan front-loading akibat memburuknya hubungan kedua negara. Di sisi lain, impor dari AS juga naik 3.6 persen.
Presiden China Xi Jinping berupaya mendorong kemandirian ekonomi China dengan menekankan kepada model sirkulasi ganda yang condong ke pasar domestik. Kendati demikian, banyak pihak yang tidk memahami praktik dari rencana tersebut.