Bisnis.com, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) menyebut kerugian perekonomian negara yang timbul akibat perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan impor tekstil pada Ditjen Bea Cukai tahun 2018-2020 mencapai Rp1,6 triliun.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Kejagung, Febrie Adriansyah menjelaskan bahwa tim penyidik tengah mempercepat proses penanganan perkara tersebut.
Dia juga menjelaskan bahwa perkara tindak pidana korupsi penyalahgunaan kewenangan importasi tekstil pada Ditjen Bea Cukai tahun 2018-2020 itu sudah dilakukan pelimpahan berkas perkara atau tahap I ke jaksa penuntut umum (JPU) untuk diteliti kelengkapan syarat formal dan materilnya.
"Kerugian perekonomian negara akibat kasus ini mencapai Rp1,6 triliun. Cukup besar juga. Selain itu, kami juga sudah melakukan pelimpahan tahap I berkas para tersangka ini ke penuntut umum," tutur Febrie kepada Bisnis, Jumat (7/8/2020).
Sebelumnya, penyidik Kejagung telah menetapkan tersangka terhadap Mukhamad Muklas selaku Kabid Pelayanan Fasilitas Kepabeanan dan Cukai KPU Bea Cukai Batam, Dedi Aldrian selaku Kepala Seksi Pabean dan Cukai III pada KPU Bea dan Cukai Batam dan Hariyono Adi Wibowo selaku Kepala Seksi Pabean dan Cukai I pada KPU Bea dan Cukai Batam.
Kemudian, Kamaruddin Siregar selaku Kepala Seksi Pabean dan Cukai II pada KPU Bea dan Cukai Batam, serta Irianto selaku pemilik PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima.
Baca Juga
Para tersangka dijerat Pasal 2 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP Jo Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Selanjutnya, subsider Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 juncto UU No. 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.
Diketahui, PT Fleming Indo Batam dan PT Peter Garmindo Prima kerap mengimpor 566 kontainer bahan kain dengan modus mengubah invoice dengan nilai yang lebih kecil untuk mengurangi bea masuk serta mengurangi volume, dan jenis barang dengan tujuan mengurangi kewajiban bea masuk tindakan pengamanan sementara (BMTPS) dengan cara menggunakan surat keterangan asal (SKA) tidak sah.