Bisnis.com, JAKARTA - Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kongkalikong antara mantan pegawai anak Perusahaan Lippo Group, PT Artha Pratama Anugerah Doddy Aryanto Supeno dengan Nurhadi selaku mantan Sekretaris Mahkamah Agung (MA).
Doddy Aryanto Supeno diduga pernah menyuap Nurhadi untuk mengurus sejumlah perkara di bawah Lippo Group.
Hal itu terungkap setelah penyidik lembaga antirasuah memeriksa Doddy Aryanto Supeno sebagai saksi atas kasus dugaan suap dan gratifikasi terkait pengurusan perkara di Mahkamah Agung pada tahun 2011-2016. Doddy dimintai keterangannya untuk melengkapi berkas penyidikan Nurhadi.
"Doddy Aryanto Supeno diperiksa sebagai saksi untuk tersangka NHD, penyidik mendalami pengetahuan saksi terkait dengan penanganan perkara yang diduga pengurusan perkara tersebut akan dibantu oleh tersangka NHD dengan kesepakatan pemberian uang," kata Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri Rabu (5/8/2020) malam.
Selain Doddy Aryanto Supeno, lembaga antirasuah juga memeriksa saksi lainnya yakni, seorang Ibu rumah Tangga, Irawati. Irawati didalami keterangannya oleh penyidik KPK terkait aliran uang untuk Nurhadi.
"Terhadap Irawati, penyidik mengkonfirmasi keterangan saksi terkait dengan dugaan aliran uang kepada tersangka NHD," pungkasnya.
Baca Juga
Diketahui, Doddy sempat terlibat perkara penundaan pelaksanaan putusan pengadilan terkait perkara perdata yang melibatkan dua anak usaha Grup Lippo di PN Jakarta Pusat.
Dalam persidangan terhadap mantan petinggi Lippo Group, Eddy Sindoro Januari 2019 lalu, jaksa sempat mengungkap dalam BAP, Doddy mengaku pernah berkomunikasi dengan mantan petinggi Lippo, Suhendra Atmadja. Komunikasi itu terkait pemberian kepada Nurhadi.
Sebelumnya, Nurhadi dan Rezky Herbiyono bersama Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto (HSO) pada 16 Desember 2019 telah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap dan gratifikasi terkait dengan perkara di Mahkamah Agung (MA) pada 2011-2016.
Ketiganya kemudian dimasukkan dalam status DPO sejak Februari 2020. Untuk tersangka Hiendra saat ini masih menjadi buronan.
Nurhadi dan Rezky ditetapkan sebagai tersangka penerima suap dan gratifikasi senilai Rp46 miliar terkait dengan pengurusan sejumlah perkara di MA, sedangkan Hiendra ditetapkan sebagai tersangka pemberi suap.
Adapun, penerimaan suap tersebut terkait dengan pengurusan perkara perdata PT MIT vs PT KBN (Persero) kurang lebih sebesar Rp14 miliar, perkara perdata sengketa saham di PT MIT kurang lebih sebesar Rp33,1 miliar, dan gratifikasi terkait dengan perkara di pengadilan kurang lebih Rp12,9 miliar sehingga akumulasi yang diduga diterima kurang lebih sebesar Rp46 miliar.