Bisnis.com, JAKARTA - Apa salahnya orang berharap munculnya obat dan vaksin pelawan Covid-19? Di saat dunia terancam pandemi saat ini, sah saja orang berharap lahirnya obat manjur penghancur Corona.
Namun, harapan yang menggebu-gebu itu tidak boleh membuat orang gelap mata dan menyambar apa pun yang didaku sebagai obat Covid-19.
Lembaga resmi macam LIPI, misalnya, tidak serta merta mengklaim telah menemukan obat untuk melawan Covid-19. Langkah terakhir LIPI, melakukan uji klinis herbal juga tidak disebut sebagai upaya penemuan obat untuk melawan Covid-19. Apa yang dilakukan LIPI adalah melakukan uji klinis atas obat herbal yang bisa membangkitkan sistem daya tahan tubuh bekerja.
Untuk menguji kandidat pembangkit imunitas atau imunomodulator itu, LIPI dan Rumah Sakit Darurat wisma Atlet berhasil merekrut sejumlah subyek penelitian.
Pada Minggu (2/8/2020) Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet berhasil merekrut subyek penelitian ke-90.
Mereka akan terlibat dalam uji klinis kandidat imunomodulator tanaman herbal asli Indonesia untuk pasien terinfeksi virus Corona baru.
Baca Juga
Metode uji klinis kandidat imunomodulator dilakukan secara acak terkontrol tersamar ganda dengan plasebo untuk menjaga dari terjadinya bias pada penelitian.
Demikian disampaikan Masteria Yunolvisa Putra, selaku Koordinator Kegiatan Uji Klinis Kandidat Imunomodulator dari Herbal untuk Penanganan COVID-19 dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Senin (3/8/2020).
Terdapat dua produk uji dan satu plasebo yang diberikan secara acak dan merata kepada 90 subyek uji, sehingga terdapat 30 subyek uji untuk masing-masing kelompok.
Saat uji klinis, subyek maupun peneliti tidak mengetahui apakah yang diberikan kepada subyek adalah salah satu dari produk yang diujikan atau plasebo.
Rencananya pada 16 Agustus 2020 uji klinis dengan sistem blinding itu sudah bisa dibuka untuk mengetahui data pasien yang sudah mendapatkan kontrol.
Tim peneliti yang terlibat berasal dari LIPI, Perkumpulan Dokter Pengembang Obat Tradisional dan Jamu Indonesia (PDPOTJI), Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Badan Penelitian dan Pengembangan Kementerian Kesehatan, dan tim dokter Rumah Sakit Darurat Penanganan Covid-19 Wisma Atlet Kemayoran sedang melakukan koleksi data yang akan dikirimkan ke BPOM selaku regulator.
Sebagai informasi, dua produk yang diujikan pada uji klinis adalah Cordyceps militaris dan kombinasi herbal yang terdiri dari rimpang jahe, meniran, sambiloto dan daun sembung.
Kombinasi herbal itu sudah memilki prototipe dan data awal, serta sudah memiliki izin edar dari BPOM.
"Seluruh tim peneliti memohon dukungan dari seluruh masyarakat agar uji klinis tersebut mendapatkan hasil yang menggembirakan sehingga dapat memberikan sumbangsih signifikan untuk penanggulangan pandemi Covid-19 di Indonesia," kata Masteria.
Hadi Pranoto dan Klaim Temuan Obat Covid-19
Di tengah harapan atas hasil LIPI tersebut, tiba-tiba media sosial diramaiakan dengan kabar viral temuan obat Covid-19 dari Hadi Pranoto.
Melalui wawancara di kanal penyanyi dan musisi Anji, Hadi Pranoto muncul dengan pernyataan soal temuan obat Covid-19 yang belakangan diralatnya sebagai herbal.
Medsos pun mengupas soal klaim Hadi Pranoto. Salah satu akun menyampaikan keraguannya atas klaim tersebut.
Sementara itu, Kementerian Kesehatan menegaskan jika obat dan vaksin Covid-19 harus lulus uji klinis sebelum diproduksi dan dipasarkan.
Penegasan itu muncul setelah ada pihak mengklaim telah menemukan obat Covid-19. Salah satunya informasi yang disampaikan Hadi Pranoto yang mengaku sudah menemukan obat yang spesifik bisa menanggulangi Covid-19.
Hadi Pranoto mengaku sebagai pakar mikrobiologi, dan memiliki gelar professor), dalam wawancara melalui kanal youtube Anji.
Untuk meluruskan informasi yang beredar belakangan ini, Plt Kabadan Litbangkes dr. Slamet MHP memberikan penjelasan diagnosis Covid-19 dilakukan melalui *pemeriksaan* laboratorium, yang selama ini dilakukan melalui tes polymerase chain reaction (RT-PCR) sebagai standar tracing dan testing di seluruh dunia.
"Jenis pemeriksaan ini menggunakan sampel usapan lendir hidung atau tenggorokan untuk mengidentifikasi DNA dan RNA virus," ujar Slamet, dikutip dari laman resmi Kemenkes.
Terkait penyediaan vaksin dan obat Corona, katanya, banyak lembaga internasional dan nasional sedang bekerja keras untuk mendapatkan obat ataupun vaksin Covid 19.
Sebagian kandidat vaksin juga sudah memasuki tahap uji klinik tahap akhir. Namun, hingga saat ini belum ada satu negara atau lembaga manapun di dunia yang sudah menemukan obat atau vaksin yang spesifik bisa menanggulangi Covid-19.
Proses Produksi Obat
Saat ini beberapa negara termasuk Indonesia tergabung dalam Solidarity Trial WHO, untuk mendapatkan bukti klinis yang lebih kuat dan valid terhadap efektivitas dan keamanan terbaik dalam perawatan pasien Covid-19.
Slamet juga memaparkan sebelum diedarkan ke masyarakat, secara garis besar proses produksi obat sebagai berikut:
- Diawali dengan upaya penemuan bahan/zat/senyawa potensial obat melalui berbagai proses penelitian.
- Bahan/zat/senyawa potensial obat tersebut harus melewati berbagai proses pengujian diantaranya adalah uji aktivitas zat; uji toxisitas in vitro dan in vivo pada tahap pra klinik; serta Uji Klinik untuk fase I, fase II dan fase III.
- Proses izin edar
- Diproduksi melalui cara pembuatan obat yang baik (GMP) dan dilakukan kontrol pada proses pemasaran.
Pemerintah mengimbau masyarakat untuk tidak mudah percaya akan informasi yang diragukan kebenarannya. Lakukan saring sebelum sharing, bersikap kritis dan cari informasi dari sumber yang tepercaya.
“Kepada seluruh pihak, khususnya tokoh publik, kami harap dapat memberikan pencerahan tentang Covid-19 kepada masyarakat dan bukan sebaliknya menimbulkan pro-kontra,” jelas Slamet.
Klaim Hadi Pranoto
Musisi Erdian Aji Prihartanto alias Anji mengunggah video berisi wawancara dengan seorang pria bernama Hadi Pranoto di kanal Youtube-nya pada Jumat (31/7/2020).
Pria itu diklaim sebagai profesor mikrobiologi yang berhasil membuat obat herbal bernama “Antibodi Covid-19”.
Dalam video berdurasi 35 menit itu, Hadi Pranoto mengatakan obatnya telah dibagikan kepada 250 ribu orang dan cukup efektif untuk menyembuhkan dan mencegah Covid-19.
“Herbal kita sudah berhasil dan terbukti. Yang positif kita obati sembuh, yang menjelang terinfeksi kita obati sembuh semuanya,” ujarnya.
Hadi menyatakan telah melakukan riset terhadap Vvrus Corona dan pengembangan obat itu sejak 2000.
Ia mengklaim obatnya itu berbeda dengan vaksin, karena tidak disuntikkan, melainkan diminum. Obat itu, kata dia, akan membentuk antibodi yang akan menjadi piranti keamanan tubuh.
“Bahan baku semuanya di Indonesia,” ujar Hadi.
Selain mengklaim menemukan obat antibodi, Hadi juga menyampaikan sejumlah pernyataan yang kontroversial, mulai dari adanya 1.153 jenis virus Corona penyebab Covid-19, SARS-CoV-2, dan empat golongan Covid-19; SARS-CoV-2 yang sama dengan virus Corona sebelumnya; dan harga tes swab digital yang harganya Rp10-20 ribu.
Cek Fakta atas 7 Klaim Viral Hadi Pranoto
Sebelum dihapus oleh Youtube pada 2 Agustus 2020, video Anji itu telah viral dan dibagikan ulang oleh kanal lain di Youtube serta menyebar ke Facebook, Twitter, Instagram, dan WhatsApp.
Bagaimana kebenaran pernyataan Hadi Pranoto dalam video Anji tersebut?
Begini hasil cek fakta
Klaim 1: Hadi Pranoto adalah profesor di bidang mikrobiologi yang telah melakukan riset virus Corona selama 20 tahun.
Fakta:
Hasil penelusuran menggunakan Google Scholar untuk memeriksa profil Hadi di dunia akademik dan jejak hasil penelitiannya, ditemukan empat nama Hadi Pranoto, tapi tiga di antaranya tidak berkaitan dengan bidang mikrobiologi.
Terdapat satu nama Hadi Pranoto yang berasal dari Fakultas Pertanian Universitas Mulawarman. Namun, setelah ditelusuri di situs resmi Universitas Mulawarman, Hadi Pranoto dalam foto yang tercantum di sana berbeda dengan Hadi dalam video Anji.
Selain itu, tidak ditemukan jejak jurnal ilmiah dalam direktori Google Scholar yang diterbitkan atas nama Hadi Pranoto di bidang mikrobiologi maupun terkait Virus Corona. Padahal, menurut Pasal 26 ayat 3 Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Permenpan) Nomor 46 Tahun 2013, syarat untuk mencapai jenjang profesor atau guru besar di antaranya adalah memiliki karya ilmiah yang telah dipublikasikan di jurnal internasional bereputasi dan memiliki pengalaman kerja sebagai dosen paling singkat 10 tahun.
IDI Menelusuri
Wakil Ketua Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Adib Khumaidi mengatakan pihaknya telah mencoba menelusuri latar belakang Hadi. Dia mengatakan Hadi bukanlah anggota IDI. Kelompok ahli mikrobiologi, kata dia, juga tak mengenal sosok Hadi.
Menurut Anggota Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Supriadi Rustad, di pangkalan data Dikti, tidak ada nama Hadi Pranoto yang di dalam video Anji diklaim bergelar profesor.
“Dia profesor dari kampus mana, laboratoriumnya di mana, dan tim peneliti obat Covid-19 siapa saja, itu tidak jelas. Jadi, klaim gelar profesornya sangat diragukan.”
Klaim 2: Menemukan obat herbal “Antibodi Covid-19” yang cukup efektif untuk menyembuhkan mereka yang terkena Covid-19, hanya dalam 2-3 hari. Dia mengatakan sudah mendistribusikan obat herbal itu ke sejumlah daerah di Sumatra, Jawa, Bali, dan kalimantan. Di Jakarta, obat ini didistribusikan ke RS Darurat Wisma Atlet.
Fakta:
Kepala Pusat Kesehatan TNI Mayor Jenderal Tugas Ratmono mengatakan RS Darurat Wisma Atlet tidak pernah menggunakan obat herbal “Antibodi Covid-19”.
Mantan Komandan Satuan Tugas Kesehatan RS Darurat Wisma Atlet, Brigadir Jenderal Agung Hermawanto, pun mengatakan tidak pernah menggunakan obat buatan Hadi. Agung menjabat sebagai Komandan RS Wisma Atlet hingga 15 April 2020.
IDI sendiri mempertanyakan institusi yang menjadi tempat penelitian obat itu. IDI juga ragu bahwa obat tersebut sudah melewati uji klinis. Memang, dalam video Anji itu, Hadi Pranoto tidak menjelaskan detail bahan, komposisi, laboratorium, dan uji klinis atas obat yang diklaimnya.
Padahal, menurut Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), sebelum dipasarkan, suatu obat baru mesti melalui proses pengembangan yang panjang, mulai dari konsep pengembangan obat baru, pengembangan zat aktif, proses pembuatan, metode analisis dan pengujian non-klinik, hingga program uji klinik yang merupakan tahapan pembuktian keamanan, khasiat, dan mutu obat pada manusia yang datanya akan digunakan untuk registrasi obat tersebut. Uji non-klinis diberikan ke hewan, sedangkan uji klinis diberikan ke manusia.
Komentar Ahli Biologi Molekuler
Ahli biologi molekuler, Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, menuturkan hal yang sama. Menurut dia, produksi obat harus melewati proses yang panjang dan ketat. Tahapan yang harus dilalui yakni uji pra-klinis yang dilakukan di laboratorium dan pada hewan serta uji klinis yang dilakukan pada manusia melalui fase 1-3.
Dalam uji klinis fase 3, obat harus diberikan kepada pasien Covid-19 dengan kondisi yang spesifik. Sebab, kondisi pasien Covid-19 tidak seragam, ada yang bergejala ringan, berat, dan kritis.
“Hasil dari uji pra-klinis dan klinis harus ditulis dalam jurnal ilmiah sebagai bentuk transparansi,” katanya.
Klaim sembuh juga harus ditunjukkan dengan data yang detail, seperti pasien pada gejala mana yang sembuh.
“Sebab, pada pasien gejala ringan, mayoritas 60-80 persen akan sembuh sendiri tanpa harus minum ramuan tersebut,” katanya.
Ahmad menjelaskan masyarakat tetap boleh membuat ramuan herbal asalkan tidak mencantumkan klaim sebagai obat atau dapat menyembuhkan Covid-19 sepanjang tidak melalui prosedur ilmiah.
Selain bisa menyesatkan publik, klaim soal obat Covid-19 ini dapat mengurangi kepatuhan masyarakat terhadap protokol pencegahan penularan Covid-19, seperti menggunakan masker, menjaga jarak, dan rutin membersihkan tangan dengan sabun serta air yang mengalir.
Dalam rilisnya, Kementerian Riset dan Teknologi (Kemenristek) pun mengimbau agar masyarakat berhati-hati terhadap produk herbal yang belum terbukti kebenarannya.
Menurut Kemenristek, setiap klaim yang disebutkan terkait produk herbal harus melewati kaidah penelitian yang benar. Produk herbal juga harus diuji klinis sesuai protokol yang disetujui oleh BPOM.
Selain itu, Kemenristek menyatakan bahwa Hadi tidak ada hubungannya dengan Konsorsium Riset dan Inovasi untuk Percepatan Penanganan Covid-19 dan tidak pernah menjadi anggota peneliti konsorsium dalam tim pengembangan herbal imunomodulator.
Konsorsium ini pun menyatakan tidak pernah memberikan dukungan uji klinis obat herbal produksi Bio Nuswa yang diakui oleh Hadi telah diberikan kepada pasien di RS Darurat Wisma Atlet. Setiap pelaksanaan uji klinis harus mendapatkan persetujuan pelaksanaan uji klinis seperti oleh BPOM dan ethical clearance oleh Komisi Etik.
Klaim 3: Virus Covid-19 berkembang menjadi 1.153 jenis.
Fakta:
Pengajar mikrobiologi Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Airlangga, Agung Dwi Widodo, mengatakan bidang mikrobiologi tidak menggunakan istilah jenis untuk mengklasifikasi virus.
Secara ringkas, Agung menjelaskan virus penyebab Covid-19 digolongkan dalam famili Virus Corona, spesiesnya bernama SARS-CoV-2. Spesies itu kemudian dibagi lagi menjadi strain. Dasar klasifikasi strain adalah geografi dan genetik virus.
“Kalau berdasarkan daerah, ada 6-8 kelompok. Berdasarkan genetik, jumlahnya sama. Jadi, tidak sampai seribu,” kata Agung.
Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, mengatakan belum pernah mendengar bahwa SARS-CoV-2 sudah bermutasi.
“Saya justru belum pernah mendengar SARS-CoV-2 sudah bermutasi sehingga menyebabkan terbentuknya subtipe baru,” ujarnya.
Klaim 4: Covid-19 dibagi menjadi beberapa golongan. Golongan A adalah yang bisa dideteksi dengan rapid test. Golongan B dan C adalah yang tidak bisa dideteksi dengan rapid test, tapi bisa dideteksi dengan tes swab. Sementara golongan D adalah yang tidak bisa dideteksi dengan tes swab, tapi bisa dideteksi dengan tes DNA untuk melihat apakah virus sudah masuk ke jaringan pembuluh darah atau masih dalam proses asimilasi untuk masuk ke tubuh melalui oksigen.
Fakta:
Tidak ada penggolongan Covid-19 yang didasarkan pada kemampuan deteksinya. Sejauh ini, tes PCR dianggap paling akurat untuk mendeteksi Covid-19 dibandingkan rapid test antibodi.
Tes PCR Covid-19 sudah dikembangkan untuk mendeteksi SARS-CoV-2 yang diambil dari lendir di saluran pernapasan. Dalam tes PCR ini, terdapat materi genetik sintetik atau primer yang hanya bisa menempel pada urutan materi genetik SARS-CoV-2. Tes PCR bisa mendeteksi keberadaan SARS-CoV-2 tanpa harus menunggu munculnya antibodi seperti rapid test.
Sementara terkait klaim golongan D yang hanya bisa dideteksi dengan tes DNA, keliru.
Menurut ahli biologi molekuler Ahmad Rusdan Handoyo Utomo, materi genom SARS-CoV-2 adalah RNA sehingga tidak akan bisa dideteksi dengan tes DNA.
“Jadi, sampai kiamat pun, enggak akan ketemu virusnya kalau dites dengan tes DNA,” kata Ahmad.
Hal ini juga diungkapkan oleh pakar penyakit dalam spesialis paru-paru Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan (FKKMK) Universitas Gadjah Mada, Sumardi.
Menurut dia, Virus Corona jenis baru penyebab Covid-19 ini merupakan virus RNA. Virus RNA yaitu strain yang saat bertemu dengan inang dapat membuat salinan baru yang bisa terus menginfeksi sel lain.
Klaim 5: Covid-19 baru mati pada suhu 350 derajat.
Fakta:
Pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, dan Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, sama-sama menyangkal pernyataan Hadi Pranoto tersebut.
Agung mengatakan, berdasarkan pengalamannya di laboratorium, Virus Corona Covid-19 sudah inaktif di suhu 120 derajat Celcius.
“Selama ini kami pakai autoklaf yang 120 derajat, itu virusnya sudah inaktif,” katanya.
Autoklaf adalah alat pemanas tertutup yang digunakan untuk mensterilisasi benda menggunakan uap panas dan tekanan tinggi.
Adapun menurut Herawati, dibutuhkan pengetahuan mengenai struktur virus untuk mengetahui toleransi suatu mikroorganisme terhadap suhu. Dia menjelaskan virus memiliki membran pelapis ganda yang terdiri dari lipid dan protein. Zat yang menyelubungi virus itu akan larut bila dipanaskan.
Terkait klaim Virus Corona Covid-19 mati pada suhu 350 derajat, Herawati menyebut Hadi keliru.
“Hasil studi menyatakan bahwa pada suhu 56 derajat Celcius membran akan rusak,” ujarnya.
Klaim 6: Tes digital teknologi murah seharga Rp 10 ribu.
Fakta:
Wakil Ketua Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Herawati Sudoyo, menyatakan tidak mengetahui adanya tes Covid-19 yang bernama digital teknologi seperti yang dikatakan Hadi Pranoto, yang hanya bertarif Rp 10-20 ribu.
Dia mengatakan tenaga medis di dunia menggunakan reverse transcriptase polymerase chain reaction (PCR).
“Itu juga yang digunakan di Indonesia,” katanya.
Senada dengan Herawati, pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, tidak paham dengan maksud digital teknologi yang disebutkan Hadi.
Dia pun bercerita tentang sejumlah guru besar yang sempat merasa jengkel dengan klaim tes Covid-19 yang dikatakan oleh Hadi tersebut.
“Kalau ada tes yang berbasis digital teknologi itu murah, maka semua sampel di Surabaya mau dikirim ke Hadi Pranoto,” canda Agung.
Pria yang berprofesi sebagai dokter mikrobiologi klinis itu juga berkata tes Covid-19 tergolong mahal karena sejumlah penyebab. Beberapa di antaranya adalah petugas mesti menggunakan alat pelindung diri (APD) saat mengambil sampel; jumlah mesin pengujian yang terbatas; dan reagen yang masih impor.
Klaim 7: Covid-19 bisa terdeteksi lewat keringat.
Fakta:
Pengajar mikrobiologi FK Unair, Agung Dwi Widodo, mengatakan belum ada penelitian yang menyebut bahwa deteksi Covid-19 bisa dilakukan melalui keringat. Yang terbaru, kata dia, banyak ilmuwan menyebut bahwa tes Covid-19 bisa menggunakan air liur atau saliva.
Senada dengan Agung, Wakil Ketua IDI Adib Khumaidi mengatakan belum ada penelitian yang menyebut bahwa tes Covid bisa menggunakan keringat.
“Belum ada penelitian secara ilmiah yang membuktikan itu,” kata Adib.