Bisnis.com, JAKARTA - DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan resmi mengusung Gibran Rakabuming Raka dan Teguh Prakosa sebagai pasangan calon wali kota dan wakil wali kota Solo pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.
Keputusan itu dibacakan Ketua DPP PDI Perjuangan Puan Maharani dalam pengumuman tahap kedua 45 pasangan calon kepala daerah Pilkada Serentak 2020 secara virtual, di Jakarta, Jumat.
"Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka dengan Teguh Prakosa," kata Puan.
Gibran merupakan putra sulung Presiden Joko Widodo, yang juga pernah menjabat wali kota Solo.
Menanggapi jatuhnya rekomendasi PDIP kepada Gibran-Teguh, pengamat politik dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, menyebut Pilkada Solo 2020 telah selesai.
Pasalnya, hampir seluruh partai politik (parpol) di Kota Solo sudah merapat ke PDIP.
“Sebenarnya kalau mau, parpol lain itu bisa mengusung calon alternatif. Tapi kan Gerindra, Golkar, sudah gabung dengan PDIP. Tinggal PKS dan PAN, tapi tidak bisa karena tidak cukup memenuhi syarat administratif. Tinggal kita menunggu verifikasi calon perorangan saja,” kata Agus saat dihubungi Solopos.com, Kamis (16/7/2020) malam.
Agus menyebut masih ada peluang bagi Gibran-Teguh untuk tidak menjadi calon tunggal di Pilkada Solo 2020, yakni jika Bagyo Wahyono-F.X. Supardjo (Bajo) lolos verifikasi faktual.
Jika calon perseorangan tersebut lolos, maka Pilkada Solo diikuti dua pasangan calon. Namun, jika tidak lolos, maka Komisi Pemilihan Umum (KPU) Solo akan membuka dua kali lagi pendaftaran calon.
“Tapi kalau tiga kali pembukaan calon oleh KPU tidak ada satupun yang mendaftar, ya jadi calon tunggal. Dan kalau Gibran sudah dapat rekomendasi, ya pilkada sudah selesai,” kata Agus.
Sebenarnya, kata dia, siapapun yang diusung PDIP akan menang di Solo meski bukan Gibran. Selama PDIP solid, Agus meyakini calon tersebut akan memang.
Satu-satunya musuh PDIP adalah diri mereka sendiri, khususnya jika masih ada riak-riak di internal partai.
“Gibran ini representasi rezim. Kalau anak Presiden nyalon, siapa sih yang tidak mau mendukung?” kata dia.
Inilah yang mendukung terciptanya dinasti politik.
“Dinasti politik itu terjadi dan diajarkan sendiri oleh Presiden.”
Padahal, sambungnya, dinasti politik kerap menghasilkan kekuasaan yang korup karena kekuasaan tidak bergulir dengan baik.