Bisnis.com, JAKARTA – Langkah pemerintah Amerika Serikat untuk melabeli sebagian besar klaim Beijing di Laut China Selatan sebagai pelanggaran hukum internasional mungkin sia-sia.
Jangankan terhadap AS, China telah berulang kali menolak mengakui putusan Pengadilan Arbitrase Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2016 yang membatalkan klaim teritorial China atas Laut China Selatan.
Namun, kisruh ini memunculkan kekhawatiran di antara para analis karena dapat menyebabkan miskalkulasi di wilayah yang disengketakan itu jika Partai Komunis menjadi lebih agresif dalam menyatakan klaimnya, baik untuk menentang AS maupun pihak lain.
“Kekhawatiran yang kami miliki adalah China dapat memutuskan untuk meningkatkan penentangan mereka terhadap aktivitas AS di Laut China Selatan ini, sehingga meningkatkan risiko insiden,” ujar peneliti di Sekolah Studi Internasional S. Rajaratnam Singapura, Collin Koh Swee Lean.
Kendati AS dan China telah bergulat dalam banyak hal mulai dari isu perdagangan hingga Covid-19, Laut China Selatan menjadi ranah paling potensial bagi dua negara besar ini untuk mengerahkan kapal perang dan jet tempur mereka.
Menteri Pertahanan Mark Esper mengatakan berencana mengerahkan lebih banyak pasukan AS untuk menghadapi China. Angkatan Laut AS tampaknya sudah mulai meningkatkan operasi "kebebasan navigasi" yang menantang klaim teritorial Beijing. Awal bulan ini, dua kapal induk AS melakukan latihan militer di Laut China Selatan.
Baca Juga
“Di satu sisi [AS] mengeksploitasi faktor China untuk pemilihan umum [pilpres AS], tetapi secara umum AS telah mengubah sikapnya terhadap China,” tutur Dekan eksekutif Pusat Inovasi Kolaboratif Studi Laut China Selatan di Universitas Nanjing, Zhu Feng.
Pada Senin (13/7/2020) waktu setempat, Menteri Luar Negeri AS Michael Pompeo menyatakan bahwa klaim Beijing atas sumber daya lepas pantai di sebagian besar wilayah Laut Cina Selatan melanggar hukum.
Membentang dari China di bagian utara ke Indonesia di selatan, Laut China Selatan memiliki luas sekitar 3,6 juta kilometer persegi. Sengketa atas wilayah yang vital bagi perdagangan global dan mengandung sumber daya luar biasa ini melibatkan beberapa negara Asia Tenggara.
Pada Juli 2016, Pengadilan Arbitrase PBB yang berpusat di Den Haag mengeluarkan keputusan bersejarah yang membatalkan klaim teritorial China di Laut China Selatan dengan menyatakan tidak adanya dasar hukum untuk penguasaan kawasan maritim.
Tapi, China menentangnya karena memandang tindakan hukum yang dilakukan Pengadilan Arbitrase tidak memiliki yurisdiksi terhadap perselisihan yang terjadi.
"Dunia tidak akan membiarkan Beijing memperlakukan Laut China Selatan sebagai kerajaan maritimnya,” tegas Pompeo pada Senin, seperti dilansir Bloomberg.
China jelas tidak tinggal diam. Juru bicara Kementerian Luar Negeri Zhao Lijian pada Selasa (14/7/2020) menolak pernyataan Pompeo. Ia menuduh AS melakukan segala yang bisa dilakukan untuk menimbulkan konflik di Laut China Selatan.
Dalam sebuah analisis yang dipublikasikan pada Selasa, Eurasia Group berpendapat risiko insiden di Laut China Selatan yang mengarah ke kebuntuan lebih besar telah meningkat karena de-eskalasi akan diperumit oleh hubungan yang memburuk.
“China mungkin lebih cenderung untuk mendeklarasikan zona identifikasi pertahanan udara di atas perairan tersebut, yang akan berusaha untuk memaksa jet-jet komersial dan militer internasional untuk mengakui kedaulatan China,” papar Eurasia.
Sikap AS menandai pertama kalinya negara ini secara eksplisit mendukung substansi putusan pengadilan internasional, menurut Direktur Asia Maritime Transparency Initiative di Washington, Greg Poling.
Sikap ini dipandang akan mengarah pada keberatan yang lebih kuat terhadap langkah China untuk mengintimidasi penangkapan ikan dan pengeboran migas, serta menambahkan tekanan pada negara-negara lain untuk lebih banyak tindakan.
“AS masih netral tentang siapa yang akhirnya akan memiliki pulau yang disengketakan itu, tetapi sekarang dengan tegas berada di pihak Asia Tenggara ketika menyangkut sebagian besar perairan,” ujar Poling menanggapi konflik terkait dengan Laut China Selatan.