Bisnis.com, JAKARTA - Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta sekaligus tokoh Pendidikan Anak Usia Dini Zita Anjani meminta harus ada evaluasi mendalam terkait pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PPJ) di sekolah.
Hal ini menanggapi wacana Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Anwar Makarim yang menilai PJJ bisa diterapkan secara permanen usai pandemi Covid-19, dikombinasikan dengan kegiatan belajar-mengajar secara tatap muka.
Menurut Zita, wacana Nadiem sebenarnya baik sebagai upaya membawa pendidikan lebih maju, "Tapi harus realistis juga, lihat sistem belajar yang sudah di terapkan 3 bulan ini, evaluasinya banyak sekali," jelasnya, Minggu (5/7/2020).
Zita menjelaskan pelaksanaan PPJ selama pandemi Covid-19 masih perlu evaluasi mendalam. Selain itu, masih banyak pula pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah sesuai karakter wilayah masing-masing seantero Indonesia.
Pasalnya, Center of Reform on Economics (CORE) memperkirakan penduduk miskin akan bertambah menjadi 30,8 juta jiwa selama pademi. Sementara Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) menyatakan penduduk kita yang melek teknologi hanya sekitar 64,8 persen.
"Itu artinya masih ada 92,99 juta penduduk Indonesia yang gagap teknologi," tambah politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini.
Bahkan, Zita mengungkap bahwa di negara maju seperti Amerika dan Singapura pun, yang notabene kualitas guru dan infrastrukturnya sudah memadai untuk jarak jauh, tetap terapkan pembelajaran tatap muka.
"Bukan masalah mampunya, tapi efisiensinya, siswa Amerika sendiri yang meminta itu. Di kita pun sama, anak-anak sudah tidak lagi fokus dan tempramental selama di rumah. Karena dunianya dicabut, bermain, belajar, dan wadah mengenali peran dan statusnya sudah tidak lagi dirasakan," tambahnya.
Oleh sebab itu, daripada 'heboh' karena penjelasannya hanya 'mempermanenkan PPJ', Zita lebih sepakat apabila Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI mengkaji beberapa metode yang memang memanfaatkan PPJ menyesuaikan karakteristik masing-masing wilayah-wilayah di Indonesia. Adapun, yang dimaksud atara lain Online Guided Distance Learning, Suport Guided Home Learning, Suport Guided Comunity Learning, dan New Normal School.
"Tiap metodenya harus di perhatikan akses gadget, akses internet, pengawasan orang dewasa, inovasi kurikulum, bahan pembelajaran, fasilitas, dan guru pengajar. Itu semua adalah kelebihan dan kekurangan dari tiap daerah. Metodenya menyesuaikan," jelas Zita.
Ambil contoh bahwa sekolah di kota-kota besar atau yang masih rawan penularan Covid-19 layak menggunakan metode OGDL. Karena seminimalnya harus ada akses gadget, akses internet, inovasi kurikulum, dan yang terpenting pengawasan orang tua, agar anak tidak salah gunakan gadget yang ada.
Untuk yang tidak punya gadget dan internet, namun wilayahnya masih berada di zona kuning, bisa menggunakan metode lain. Sementara metode new normal hanya bisa diterapkan di zona-zona yang sudah dipastikan aman Covid-19.
"Besar harapan Mas Menteri bisa memikirkan sampai ke situ solusinya kalau memang mau dipatenkan. Jangan sampai PJJ malah mendiskriminasi pendidikan anak. Saya tentang keras soal itu. PR-nya memang banyak, jadi negara harus hadir. Harus jadi juru selamat untuk anak bangsa. Anak-anak kami menaruh harapan besar, kami percaya mas menteri bisa lebih bijak dalam mengambil langkah," tutupnya.
Pembelajaran Online Perlu Evaluasi, Jangan Permanen Dulu
Pelaksanaan pembelajaran jarak jauh (PPJ) di sekolah dinilai masih membutuhkan evaluasi mendalam mengingat karakteristik geografis Indonesia dan infrastruktur teknologi yang belum merata.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel
Penulis : Aziz Rahardyan
Editor : Amanda Kusumawardhani
Konten Premium