Bisnis.com, JAKARTA - Alumni Institut Teknologi Bandung meminta Majelis Wali Amanat ITB mencopot Din Syamsuddin dari keanggotaan majelis.
Hal tersebut diungkapkan alumni melalui surat yang ditujukan kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan serta Ketua Wali Amanat ITB.
Sebanyak 1.355 alumnus ITB yang tercantum dalam surat tersebut.
Alumnus tersebut mengatasnamakan diri Gerakan Anti Radikalisme - Alumni Institut Teknologi Bandung, mereka mengaku berasal dari berbagai jurusan di ITB mulai dari angkatan 1957 hingga 2014.
Menurut alumnus dalam surat tersebut, Din Syamsudin telah melanggar pedoman dasar institusi pendidikan tersebut.
"Para alumni menganggap Pak Din Syamsuddin melanggar statuta ITB," kata salah satu alumni Achmad Sjarmidi, Jumat (26/5/2020).
Baca Juga
Achmad menjabarkan tiga alasan mengapa alumni ITB meminta hal tersebut kepada pemerintah. Pertama, Din dianggap terlalu sering mengkritik pemerintah.
Achmad menuturkan statuta ITB dirumuskan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 65 Tahun 2013 tentang Statuta ITB dan Peraturan MWA tentang Penetapan Tri Dharma dan Otonomi Pengelolaan ITB PTNBH.
Achmad mengatakan peraturan tersebut di antaranya menegaskan bahwa hubungan eksternal dengan pihak pemerintah, alumni, tokoh masyarakat, dan komunitas harus dikelola dengan baik dan berkesinambungan.
Menurut Achmad, permintaan pencopotan ini dilayangkan setelah mencermati pernyataan-pernyataan, sikap, serta sepak terjang Din Syamsuddin selama satu tahun terakhir.
Ada sejumlah pernyataan kritikan Din, baik kepada pemerintah maupun lembaga negara lain yang disorot oleh para alumni.
Salah satunya adalah pernyataan Din pada 29 Juni 2019. Din menyebut adanya rona ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses pengadilan sengketa hasil pemilihan presiden 2019 di Mahkamah Konstitusi.
"Pernyataan konfrontatif ini dilontarkannya pada saat yang bersangkutan sendiri belum sampai dua bulan menyandang statusnya sebagai anggota MWA ITB," demikian tertulis dalam surat.
Kedua, keterlibatan Din dalam webinar pemakzulan Presiden. Hal ini dipicu oleh pernyataan Din dalam webinar Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadiyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute di Youtube pada 1 Juni 2020 bertajuk Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19.
Alumni menilai, dalam paparannya, Din telah melontarkan prasangka buruk terhadap pemerintah, menuduh pemerintah Indonesia otoriter dan represif, dan menuduh Presiden Joko Widodo membangun sistem kediktatoran konstitusional.
Achmad mengatakan para alumni lantas menelusuri rekam jejak Din. Dari penelusuran tersebut mereka menyimpulkan Din Syamsuddin cenderung berkarakter radikal.
Din, kata Achmad, pernah menghadiri dan berpidato dalam konferensi khilafah internasional pada 2007.
Alumni juga menyorot keputusan Din mundur dari jabatan Utusan Khusus Presiden untuk Dialog dan Kerjasama Antar Agama dan Peradaban, serta perbedaan sikapnya dengan Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Pilpres 2019.
Ketiga, alumni menilai Din tidak segan menyerang pemerintah.
Gerakan Anti Radikalisme - Alumni Institut Teknologi Bandung pun menilai Din secara konsisten selalu mengambil sikap konfrontatif terhadap pemerintah.
Alumni melihat Din justru berharap terjadi konflik dengan pemerintah, tidak segan selalu menyerang pemerintahan Jokowi dengan tuduhan-tuduhan negatif yang dianggap tak cukup memiliki validitas.
Din juga dianggap memiliki tendensi untuk mudah melontarkan pernyataan agitatif kepada masyarakat yang berpotensi menimbulkan konflik, cenderung berkarakter radikal, dan ditengarai memiliki antipati tertentu terhadap figur Presiden Jokowi.
Sayangnya, Din Syamsuddin mengatakan enggan menanggapi surat tersebut.