Bisnis.com, JAKARTA — Di masa pandemi Covid-19, Mahkamah Konstitusi telah mengeliminasi 17 perkara pengujian UU tanpa satu pun mengabulkan permohonan para penggugat.
Sidang perdana pengucapan putusan atau ketetapan di masa pandemi berlangsung pada Selasa (19/5/2020). Ketika itu, tujuh perkara dikandaskan baik dengan alasan permohonan tidak memenuhi syarat formil, tidak beralasan menurut hukum, maupun ditarik kembali.
Pada Selasa (23/6/2020), giliran lima perkara mengalami nasib serupa. Di antaranya adalah dua permohonan pengujian Perppu 1/2020 yang tidak dapat diterima karena objek gugatan telah berubah menjadi UU 2/2020.
Aksi ‘bersih-bersih’ MK berlanjut pada Kamis (25/6/2020) hari ini. Kali ini, sebanyak lima permohonan dieliminasi.
Di antaranya adalah tiga perkara pengujian UU No. 22/2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (UU LLAJ). Untuk tiga perkara tersebut, MK mengakui kedudukan hukum para pemohon. Namun, dalil inkonstitusionalitas dianggap tidak beralasan sehingga permohonan ditolak.
Sembilan hakim konstitusi menggelar rapat permusyawaratan hakim (RPH) pada 14 Mei untuk memutus tiga perkara tersebut. Para pengadil tidak sampai menggelar sidang pemeriksaan karena substansi permohonan dianggap sudah jelas.
“Tidak terdapat urgensi dan relevansinya bagi Mahkamah meminta keterangan dan/atau risalah rapat berkenaan dengan permohonan para pemohon kepada pihak-pihak sebagaimana dimaksud Pasal 54 UU MK,” kata Hakim Konstitusi Suhartoyo saat membacakan pertimbangan hukum Putusan MK No. 8/PUU-XVIII/2020 di Jakarta, Kamis.
Sementara itu, dua perkara lain dinyatakan tidak memenuhi syarat formil. Masing-masing penggugat UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia dan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dianggap tidak memiliki kedudukan hukum dengan alasan berbeda.
“Mengadli, menyatakan permohonan para pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman saat membacakan amar Putusan MK No. 19/PUU-XVIII/2020.