Bisnis.com, JAKARTA - Tim kuasa hukum Heru Hidayat, Soesilo Aribowo membantah penyebutan pasar modal sebagai bagian dari modus operandi korupsi pada PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Hal ini menanggapi tanggapan jaksa atas nota keberatan atau eksepsi terdakwa Asuransi Jiwasraya.
"Kalau yang namanya modus operandi itu hanya sesaat, suatu tindak pidana modus operandi sesaat saja lah ini kan terdakwa ini, seperti Heru Hidayat kemudian Joko Tirto itu kan emang pekerjaannya di pasar modal tidak ada modus operandi," kata Soesilo, Rabu (17/6/2020).
Soesilo mengatakan, Heru selaku Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera Tbk membuat keputusan di pasar modal adalah bidang pekerjaannya. Alhasil, kata dia, tidak tepat jika pasar modal disebut-sebut sebagai bagian dari korupsi Asuransi Jiwasraya.
"Tindak pidananya nggak pas, dilakukan sebagai tindak pidana korupsi nanti kalau seperti itu semua BUMN yang melakukan go public atau penawaran umum di pasar modal dengan menggunakan rekening ada modus operandi di situ susah," kata Soesilo.
Soesilo pun menegaskan bahwa perkara PT Asuransi Jiwasraya bukan merupakan ranah tindak pidana korupsi. Hal-hal yang dilakukan Heru merupakan bagian dari keputusan yang terkait kebijakan di pasar modal.
"Pekerjaan mereka yang ada di situ emang ada di pasar modal. Saya kira yang menjadi poin penting dari apa yang disampaikan pada intinya menurut kita tetap tidak tepat," tukas Soesilo.
Adapun pada hari ini jaksa penuntut umum pada Kejaksaan Agung, meminta agar Majelis Hakim menolak eksepsi dari para terdakwa kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya.
Seperti diketahui, terdakwa dalam kasus ini adalah Komisaris PT Hanson International Benny Tjokrosaputro, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera (Tram) Heru Hidayat, dan mantan Direktur Utama PT Asuransi Jiwasraya Hendrisman Rahim.
Selain itu, terdakwa lainnya adalah mantan Direktur Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Hary Prasetyo, mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan PT Asuransi Jiwasraya Syahmirwan, dan Direktur PT Maxima Integra, Joko Hartono Tirto. Mereka didakwa merugikan negara sejumlah Rp16,8 triliun.