Wacana perubahan kurikum mendasar untuk SD, SMP, SMA yang diprakarsai Bapak Mendikbud Milenial Nadiem Makariem terdengar cukup revolusioner. Seperti biasa, ada yang optimis dan ada yang pesimis. Materi pembelajaran di sekolah menengah akan diperingkas menjadi matematika, bahasa, dan koding saja.
Pelaksanaan pendidikan diarahkan untuk berdiri di atas konsep merdeka dan fleksibel. Bukan kewajiban yang menyandera. Demikian juga bagi pihak penyelenggara pendidikan.
Dalam Surat Edaran Nomor 14 Tahun 2019 tentang Penyederhanaan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran, 10 Desember 2019, ditegaskan oleh Mendikbud bahwa Penyusunan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dilakukan dengan prinsip efisien, efektif, dan berorientasi pada murid.
Setiap sekolah dibebaskan untuk menyusun program pendidikan dan pengajarannya sesuai kebutuhan. Singkatnya, menghadapi era digital dan pola demokrasi global, pendidikan lebih ditekankan pada hak, kebutuhan, dan pilihan.
Pada prinsipnya, proses belajar tak pernah usai. Sinergi dan tukar informasi antar jenjang diharapkan dapat memperkaya wacana penyusunan kurikulum baru. Lanjutan pendidikan dasar dan menengah adalah perguruan tinggi. Oleh karena itu, perilaku dan kemampuan mahasiswa tentunya merupakan hasil dari pendidikan sebelumnya.
Pada kolom ini, Penulis mencoba menyusun beberapa catatan dari perjalanan mengajar selama lebih dari 20 tahun. Pengamatan selayang pandang berikut ini diharapkan dapat menghangatkan diskusi tentang pendidikan Indonesia yang sedang berada di suatu persimpangan.
Pertama, masih (atau makin?) rendahnya kemampuan literasi mahasiswa. Literasi, menurut Elizabeth Sulzby (1986) adalah kemampuan “membaca, berbicara, menyimak, dan menulis.” Kebiasaan membaca dan menulis adalah sebuah budaya yang seharusnya ditanamkan di pendidikan dasar-menengah sebagai pondasi utama karena menjadi jendela dan menuntun ke mana arah perjalanan akan dituju.
Baru-baru ini Penulis mencoba memberikan ujian membaca cepat, memahami, dan menjelaskan beberapa jurnal berbahasa Inggris kepada 40 orang mahasiswa S2, dengan bahasa Indonesia.
Mahasiswa jenjang magister di perguruan tinggi kami memiliki latar belakang yang lebih heterogen dibanding mahasiswa S1-nya.
Dari target waktu yang diberikan, 60 menit, ternyata hanya 3 orang yang sanggup menyelesaikan tugasnya tepat waktu, terlepas dari bagaimana hasilnya.
Sementara itu mayoritas (hampir seluruh mahasiswa) membutuhkan tambahan waktu. Dari evaluasi hasil review mereka, kira-kira kurang dari 20 persen yang akurat, 40 persen fifty-fifty, dan 40 persen sisanya cenderung lebih banyak meniru/menterjemahkan/menulis ulang informasi isi jurnal yang ditelaah.
Kesulitan lain terasa saat penyusunan proposal tugas akhir dan laporan akhir berupa skripsi, tesis, dan disertasi.
Untungnya, tertolong oleh internet sehingga perbaikan-perbaikan bisa dilakukan dengan lebih cepat. Dengan catatan, kontak mahasiswa dengan pembimbingnya terlaksana tanpa berbatas ruang dan waktu.
Kedua, lemahnya penguasaan ilmu dasar dan fundamental. Hal ini tampak saat mahasiswa diberi pertanyaan hafalan akan menjawab dengan mudah. Namun saat diminta untuk menganalisis dan menyusun suatu masalah secara komprehensif akan tampak sangat kesulitan.
Beberapa kemungkinan penyebab dari rendahnya penguasaan masalah fundamental adalah karena mahasiswa masuk ke Perguruan Tinggi dengan bekal pemahaman dan pendidikan ala bimbel, yaitu menghafal soal dan trik-trik penyelesaian soal. Tidak ada salahnya belajar “jembatan keledai”, namun tidak boleh dilewatkan pengetahuan yang mendasarinya.
Banyaknya jenis mata pelajaran, pragmatisme belajar, citra sekolah favorit, dan framing tentang kesuksesan yang berbasis rangking berkemungkinan menjadi penyebab masalah ini.
Ketiga, kesulitan berpikir logis, simpel, cepat, dan cermat. Matematika, silogisme, dan bahasa; sesuai pilihan Menteri Pendidikan memang terasa sebagai kemampuan dasar yang membangun kemampuan logis. Mengapa anak-anak kita lemah dalam menyusun logika.
Kemungkinan, sekali lagi karena materi pendidikan yang lebih berisi doktrin, tertutup, dan volumenya terlalu banyak sehingga tidak sempat untuk membahas masalah secara mendalam dan detail.
Selain itu, mengoreksi hasil ujian yang menuntut pemahaman dan analisis membutuhkan waktu lebih lama, sehingga pengajar terjebak untuk memberikan soal ujian jenis hafalan.
Keempat, kurangnya kemampuan menyampaikan pendapat dan berargumen secara efektif dan percaya diri. Poin ke empat ini akibat dari kurangnya kebiasaan belajar interaktif dan kepercayaan diri yang belum sempat dibangun di pendidikan dasar dan lingkungan keluarga.
Dari pengalaman mengajar kelas reguler (siswa berasal dari pendidikan dasar-menengah di dalam negeri) dengan kelas internasional (berlatar luar negeri-Asean dan Timur Tengah), teramati bahwa keberanian anak-anak kita untuk berbicara dan berdiplomasi kurang dibandingkan mahasiswa asing.
Ujian Tertulis
Padahal, dari ujian tertulis, penguasaan anak kelas reguler lebih baik (karena kompetisi masuknya lebih ketat). Demikian juga dari pengalaman membimbing mahasiswa exchange dari negara Eropa, terasa bahwa mereka memiliki kemampuan dasar yang lebih matang, simpel, lebih logis, sekaligus lebih bisa mengungkapkan pikiran mereka. Kemungkinan mereka telah terdidik untuk mengungkapkan pikiran mereka, benar maupun salah, secara terbuka.
Kelima, masih mengait pada poin sebelumnya, adalah menurunnya kemampuan berbahasa formal, lisan maupun tulisan. Baik dengan bahasa Indonesia, apalagi dengan bahasa asing (Inggris).
Untuk yang kedua rasanya masih bisa dimaklumi karena Bahasa Inggris bukan bahasa utama. Namun kemampuan berbahasa Indonesia yang buruk tentu sangat memprihatinkan. Semakin tahun makin terasa turunnya kualitas mahasiswa dalam berbahasa, baik lisan maupun tulisan.
Bahkan hingga tingkat doktoral. Butuh siaga 24 jam selama beberapa bulan atau bahkan tahun untuk mematangkan tuturan ide di atas kertas maupun di depan podium seminar saat harus maju sidang.
Artinya, banyak sekali yang harus dikoreksi, bahkan hingga tata cara penulisan huruf kecil dan besar, titik dan koma, penempatan kata “saya” dan bukan “aku”, dan sebagainya.
Kurangnya kemampuan menyusun logika secara runut, berbahasa tulis yang efektif, dan menggunakan “nilai rasa berbahasa” saat presentasi, terasa menjadi kendala utama utk melahirkan karya-karya ilmiah dari anak bangsa yang diharapkan bisa mendunia lewat jurnal nasional maupun internasional.
Juga kesulitan menemukan negosiator ulung untuk kepentingan masyarakatnya di masa mendatang. Permasalahannya kemungkinan adalah krisis ahli bahasa nasional, pelajaran Bahasa Indonesia dihapuskan di beberapa perguruan tinggi, dan sumber hiburan favorit anak milenial rata-rata berbahasa asing.
Namun demikian, perlu dilakukan penelitian mendalam tentang fenomena ini agar dapat dirumuskan cara-cara untuk mengatasinya.
Keenam, kurangnya memahami etika dan lemahnya empati (kepedulian sosial), singkatnya adalah menurunnya kecerdasan emosional anak didik kita.
Kelemahan di sisi ini tentu akan membawa masalah pada kehidupannya di masa mendatang. Kebiasaan berkomunikasi lewat gadget (saja) bisa kemungkinan menjadi salah satu penyebab dari degradasi empati. Bahkan di China saat ini telah didirikan pusat rehabilitasi untuk anak-anak yang kecanduan gadget karena sulitnya mereka berinteraksi seecara langsung dengan lingkungannya.
Ketidakmampuan manusia berinteraksi dengan sesamanya, menurut definisi WHO, adalah tergolong pada gangguan kesehatan.
Ketujuh, banyak lulusan Sarjana yang tidak siap kerja. Sama dengan banyak siswa SMP tak siap masuk SMA dan selanjutnya lulusan SMA yg tidak siap masuk PT, tanpa dukungan Bimbingan Belajar.
Hal ini tentu mencederai kepercayaan masyarakat terhadap lembaga sekolah. Suatu hari, Penulis menumpang taksi online yang pengemudinya mengeluhkan bahwa anaknya tak sanggup berkompetisi di sekolah negeri karena hampir semua kawannya ikut bimbingan belajar dengan biaya yang mahal.
Kedelapan, siswa kurang mampu mengatur waktu. Sering teramati mahasiswa tertidur di kelas, kemungkinan karena semalaman begadang (entah berkegiatan ekstra kurikuler/belajar/mengerjakan tugas atau bermain game) sehingga proses pembelajaran tentunya tidak akan efisien dan efektif. Kemampuan mengatur waktu harus diajarkan sejak kecil; karena kunci keberhasilan adalah mampu menaklukkan waktu.
Saran & Harapan
Sebagai lanjutan dari beberapa catatan tersebut, kami menyampaikan beberapa saran dan harapan sebagai berikut. Pertama, perbanyak kesempatan untuk meningkatkan kemampuan literasi. Bangun perpustakaan digital yang lebih mudah diakses, karena pengetahuan merupakan investasi jangka panjang yang tak ternilai harganya.
Perbanyak akses ke sumber-sumber informasi terpercaya, misalnya buku, jurnal, dan sumber informasi kreatif. Tingkatkan pendanaan untuk mendukung langganan sumber informasi tersebut jika memang harus berbayar.
Kedua, beberapa ilmu dasar masih sangat diperlukan sebagai pondasi memahami tingkah manusia dan alam sekitarnya. Selain matematika dan bahasa; masih dibutuhkan ilmu dasar kimia, fisika, humaniora (budi pekerti dan sosiologi), dan ekonomi. Mengapa? Karena pengetahuan teori dasar dan praktis dua ilmu eksakta tersebut membekali manusia lebih mudah mengenali alam dan lingkungan fisik, sementara humaniora dan ekonomi adalah ilmu pertahanan hidup di tengah komunitas manusia.
Tak semua aspek harus diajarkan, namun beberapa materi yang fundamental sebaiknya tetap dipertahankan. Sebagai contoh adalah sebagai berikut:
- Kimia : Termodinamika dalam ranah Kimia, Teori Ikatan Atom, Unsur dan Molekul.
- Fisika : Mekanika, Materi dan Gelombang, Termodinamika dalam ranah Fisika.
Dengan bekal beberapa materi kimia-fisika tersebut fenomena alam yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari lebih mudah dipahami sehingga mampu hidup mandiri, misalnya bagaimana memasak yang baik dan benar, berhemat energi, menciptakan produk teknologi terpakai, menjaga kesetimbangan alam, menjaga kesehatan, dan sebagainya.
Sementara itu ekonomi dan humaniora membekali manusia untuk lebih memahami fenomena kultural, politik, dan interaksi antar manusia. Targetnya bukan untuk menciptakan para ahli namun lebih kepada pembekalan untuk kehidupan yang lebih mandiri.
Ketiga, sistem ujian/evaluasi harus mampu menguji kompetensi dan kemampuan analitis, dan bukan kemampuan menghafal semata.Untuk itu perlu dirancang soal disertai dengan cara penilaian yang objektif, representatif, dan adil. Sekarang sudah banyak dicoba pembuatan metode ujian seperti CBT (computer base test), OSCE (objective structured clinical examination- untuk bidang kesehatan), dan sebagainya. Kunci keberhasilan sistem adalah penyusun soal yang harus terdidik, terlatih, dan tersertifikasi dan infrastruktur jaringan yang mencukupi.
Perubahan sistem
Keempat, dengan rencana perubahan sistem pendidikan mengikuti revolusi digital, pendidik dan pemerintah harus sudah siap dengan cara komunikasi dan keterbukaan berpikir, serta perbenturan ide yang mungkin hampir tak mengenal ruang dan waktu.
Pengawasan tentang penyebaran konten hoaks harus tetap ditegakkan namun jangan sampai meredam semangat keterbukaan positif itu sendiri. Perbedaan pendapat harus dipandang sebagai suatu hal yang justru positif untuk mencapai pendekatan persepsi secara alamiah.
Kelima, bagaimanapun, pembentukan mental dan perilaku yang baik harus masih menjadi bagian dari pendidikan. Anak-anak jaman milenial cenderung lebih soliter, kurang mampu bersosialisasi secara langsung, dan lebih piawai berkomunikasi lewat gadget.
Tak bisa dihindarkan, sepertinya harus juga ditambahkan etika ketrampilan berkomunikasi dengan gadget, bukan hanya memahami cara menyortir berita hoax namun tahu etika berkomunikasi lewat online baik di media sosial maupun secara personal. Selain itu, sebagai penyeimbang, kegiatan out door seperti olah raga bersama, musik, dan ekstrakurikuler yang lain, harus lebih banyak ditingkatkan.
Keenam, selalu motivasi siswa untuk mengenali kemampuan spesifiknya agar dapat dikembangkan sesuai kemampuan, bakat, dan kesenangan masing-masing. Adalah membuang waktu jika memaksakan mereka menyukai hal-hal di luar passion nya.
Ketujuh, pada setiap mata pelajaran, berikan porsi belajar aktif hingga 50%. Latih kemampuan bicara dan siapkan modul-modul yang lebih memancing kreativitas dan menanamkan kepercayaan diri. Tingkatkan kemampuan bertutur secara runut, logis, efisien, dan efektif.
Bukan hanya aspek kebahasaan yang harus ditingkatkan, tapi kualitas substansi harus diperhitungkan. Kemampuan berbicara menggambarkan ukuran kepemimpinan seseorang.
Kedelapan, asah kemampuan menulis, karena sejarah pada dasarnya disusun dari warisan tulisan yang ditemukan sepanjang lorong waktu.
Penghapusan pendidikan berbahasa tulis sebaiknya ditinjau ulang. Banyak informasi itu penting, tapi paham esensi itu jauh lebih penting. Siswa harus dibiasakan untuk mengerti sesuatu secara mendalam ketimbang banyak hal tapi tak ada yang dipenuhi secara jelas.
Tak ada yang abadi, namun “verba valent, scripta manent” ... tulisan (yang baik) akan lebih abadi ketimbang kata-kata.
Terakhir, pendidikan adalah sarana dan bekal siswa untuk berbahagia. Sudah dibuktikan dalam banyak penelitian bahwa pendidikan yang berhasil, di mana pun tempatnya, apa pun tingkatannya, adalah pendidikan yang membahagiakan.