Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Waduh! Kata Jaksa, Imam Nahrawi Tak Pernah Tolak Penerimaan Uang

Imam Nahrawi menurut jaksa melakukan pembiaran dan tidak menolak penerimaan uang yang dikumpulkan asisten pribadinya.
Nahrawi saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap dana hibah KONI dengan terdakwa Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Sigid Kurniawan
Nahrawi saat menjadi saksi dalam sidang kasus dugaan suap dana hibah KONI dengan terdakwa Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Senin (29/4/2019)./ANTARA-Sigid Kurniawan

Bisnis.com, JAKARTA - Sidang dengan agenda pembacaan tuntutan mengungkap bagaimana mantan Menpora Imam Nahrawi menyikapi uang yang diterimanya.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK menyatakan Imam Nahrawi tidak pernah menolak penerimaan uang yang sudah dikumpulkan oleh bekas asisten pribadinya, Miftahul Ulum.

"Dalam persidangan terungkap fakta hukum bahwa terdakwa Imam Nahrawi selaku Menpora memang sudah mengetahui sejak awal mengenai adanya permintaan uang yang dilakukan oleh Miftahul Ulum selaku asisten pribadinya untuk kepentingan Imam Nahrawi. Terdakwa tidak pernah mengembalikan atau menolak uang-uang yang sudah diterima Miftahul Ulum untuk kepentingannya," kata JPU KPK Ronald Worotikan di pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, Jumat (12/6/2020), seperti ditulis Antara.

Jaksa mengatakan terdakwa Imam Nahrawi seolah-olah melakukan pembiaran dan tidak memberikan sanksi kepada Miftahul Ulum selaku asisten pribadi. Padahal Imam selaku Menpora memiliki wewenang pengawasan melekat kepada anak buahnya termasuk Ulum.

Imam juga disebut tidak memberikan sanksi apa pun kepada Ulum meski sudah dilapori beberapa pihak mengenai permintaan uang oleh Ulum.

"Hal ini juga menjadi pertanyaan, bahwa terdakwa juga tidak pernah memberikan sanksi administratif maupun pemecatan kepada Miftahul Ulum sejak terdakwa mengetahui laporan tersebut. Miftahul Ulum baru diberhentikan selaku asisten pribadi terdakwa jauh setelahnya yaitu pada 2019 setelah dilakukan OTT oleh KPK," tambah Jaksa Ronald.

Hal tersebut didukung dengan fakta hukum bahwa Imam pernah mendapatkan laporan langsung terkait adanya permintaan uang dari Ulum yang mengatasnamakan Imam dari Bendahara Pengeluaran Pembantu (BPP) Program Indonesia Emas (Prima) Kemenpora 2015-2016 Lina Nur Hasanah.

Jaksa mengatakan, dalam persidangan Lina Nurhasanah pernah menyampaikan langsung kepada Imam Nahrawi selaku Menpora kenapa sampai terjadi temuan Rp11 miliar oleh BPK dan saksi menjelaskan antara lain dipakai untuk operasional kunjungan kerja setiap titik sebesar Rp75 juta dan pembelian rumah sejumlah Rp2 miliar.

"Tanggapan terdakwa Imam Nahrawi lebih banyak mendengarkan dan Lina meminta solusi kepada terdakwa namun pada saat itu terdakwa tidak memberikan solusi apa-apa dan hanya mengatakan 'ya sudah nanti saya pikirkan'," ungkap jaksa.

Bantahan Imam mengenai keterangan menurut jaksa patut untuk dikesampingkan, karena keterangan terdakwa tersebut tidak didukung oleh alat bukti lain yang sah.

Jaksa mengatakan, setelah terdakwa Imam Nahrawi menerima laporan dari Lina Nurhasanah tersebut, ia sama sekali tidak mengambil langkah perbaikan terhadap masalah tersebut bahkan cenderung melakukan pembiaran terhadap perbuatan yang dilakukan Miftahul Ulum selaku asisten pribadi terdakwa.

Hal itu bertolak belakang dengan pengakuan terdakwa di persidangan yang menyatakan telah menyampaikan kepada jajaran pegawai Kemenpora agar memberitahu terdakwa jika ada pihak-pihak yang meminta sejumlah uang mengatasnamakan terdakwa selaku Menpora.

JPU KPK mendakwa Imam Nahrawi dengan dua dakwaan. Dalam dakwaan pertama, Imam Nahrawi bersama bekas asisten pribadinya Miftahul Ulum dinilai terbukti menerima uang seluruhnya berjumlah Rp11,5 miliar dari Sekretaris Jenderal Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Ending Fuad Hamidy dan Bendahara Umum KONI Johnny E Awuy.

Atas tuntutan tersebut, Imam akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 19 Juni 2020.

Jaksa penuntut umum menuntut Imam Nahrawi hukuman 10 tahun penjara serta denda Rp500 juta subsider 6 bulan kurungan.

"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 10 tahun dan pidana denda sebesar Rp500 juta subsider enam bulan kurungan," kata jaksa KPK Ronald Worotikan saat membacakan surat tuntutan Imam Nahrawi, Jumat (12/6/2020).

Jaksa juga menuntut Imam agar dijatuhi hukuman tambahan berupa kewajiban membayar uang pengganti sejumlah Rp19.154.203.882. Uang pengganti itu harus dibayarkan paling lambat 1 bulan setelah putusan hukum berkekuatan tetap.

"Jika dalam waktu tersebut tidak dibayar maka harta benda terpidana disita dan dilelang untuk menutupi uang pengganti, dalam hal terpidana tidak punya harta yang cukup untuk membayar uang pengganti, terdakwa dipidana penjara selama 3 tahun," ujar Ronald.

Selain itu, jaksa menuntut agar majelis hakim pengadilan Tipikor Jakarta mencabut hak politik Imam selama lima tahun setelah menjalani pidana pokok.

JPU meyakini Imam terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana korupsi suap Rp11,5 miliar bersama-sama dengan mantan asisten pribadinya, Miftahul Ulum. Uang tersebut diberikan dengan tujuan mempercepat proses persetujuan dan pencairan bantuan dana hibah yang diajukan oleh KONI Pusat kepada Kemenpora tahun anggaran 2018.

Jaksa juga meyakini Imam terbukti bersalah menerima gratifikasi sejumlah Rp8,64 miliar bersama-sama Ulum.

Jaksa mengatakan perbuatan Imam diyakini telah melanggar Pasal 12 huruf a juncto Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP.

Selain itu, Pasal 12B ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo. Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP jo. Pasal 65 ayat (1) KUHP.

"Menuntut supaya hakim pengadilan tindak pidana korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa dan mengadili perkara ini menjatuhkan amar dengan putusan sebagai berikut menyatakan terdakwa Imam Nahrowi terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan beberapa tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut sebagaimana dakwaan kesatu alternatif pertama dan dakwaan kedua," ucap jaksa.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Sumber : Antara
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper