Bisnis.com, JAKARTA - Di tengah pentingnya kerja sama global untuk mengembangkan obat untuk mengatasi virus corona atau Covid-19, produsen vaksin di dalam negeri masih dihadapkan dengan sejumlah permasalahan. Salah satu tantangan utama adalah hak paten.
Hal itu diungkapkan oleh M. Rahman Roestan, Direktur Operasi PT Bio Farma (Persero) di sela-sela program Saga Multilateral: Webinar Series Episode III bertajuk 'Diplomasi Kesehatan Global di Masa Pandemi', Jumat (15/5/2020).
Menurutnya, ada beberapa kendala yang dihadapi oleh produsen vaksin, terutama yang berasal dari negara berkembang. Pertama, adanya keterbatasan akses terhadap penelitian dan pengembangan vaksin baru lantaran negara maju sudah sedemikian kuat berkoalisi.
Kedua, adanya keterbatasan dalam hak paten. Menurutnya, di tengah pandemi, lebih ideal jika hak paten vaksin ditiadakan.
Dia menjelaskan, permasalahan hak paten pernah dialami perusahaan saat wabah flu burung. Saat itu, banyak penemuan dari industri farmasi dari negara maju.
Namun, hak paten untuk produksi tidak dibuka, sehingga negara berkembang yang memiliki kemampuan memproduksi vaksin flu burung tidak bisa direalisasikan.
Selain itu, untuk manufaktur farmasi di negara berkembang juga masih ada keterbatasan pada alokasi dana.
“Kalau dampak kebijakan terutama terkait paten ini tidak kita bisa temukan solusinya, maka akan ada keterlambatan kita dalam pengembangan produk yang berpotensi hilangnya kesempatan kita berkontribusi di tingkat nasional dan global,” ujarnya.
Untuk itu, Rahman mengusulkan model strategi diplomasi yang kami usulkan untuk memperkuat kolaborasi global.
Sejauh ini, komunikasi bilateral terkait dengan kerja sama industri vaksin sudah dapat dilakukan dengan bantuan Kementerian Luar Negeri dan kedutaan negara terkait. Namun, untuk skala yang lebih luas seperti forum global, diperlukan adanya strategi diplomasi yang mensinergikan berbagai kementerian terkait.
Misalnya, Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Riset dan Teknologi.
Untuk itu, selain kolaborasi riset antara negara maju dan berkembang, Bio Farma merekomendasikan perlu adanya kerja sama dengan organisasi internasional yang mempunyai kemampuan intervensi terhadap pengembangan vaksin.
“Harus ada sinergi antara industri, regulasi, dan diplomasi. Ini penting karena industri tidak bisa bergerak sendiri,” tuturnya.
Kamapradipta Isnomo, Direktur Sosial Budaya dan Organisasi Internasional Negara Berkembang Kementerian Luar Negeri mengatakan Indonesia menghormati rezim hak paten.
Namun, dalam masa pandemi ini, diplomasi Indonesia berfokus untuk selalu minta rezim hak kekayaan intelektual dilakukan secara fleksibel. Hal ini beberapa kali telah disuarakan oleh Menteri Luar Negeri Retno Marsudi dalam beberapa forum internasional antar menteri luar negeri maupun forum WHO.
“Masak sih dalam masa pandemi ini harga vaksin harus tinggi, sementara ancaman kematian terus terjadi. Kita selalu mendorong pentingnya negara berkembang untuk dibantu,” tuturnya