Bisnis.com, JAKARTA - Kerja sama di level internasional menjadi kunci untuk mempercepat proses penemuan obat virus corona atau Covid-19 lantaran proses penemuan obat yang secara standar memerlukan waktu 12 tahun.
Irmansyah, Kapuslitbang Sumber Daya dan Pelayanan Kesehatan Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan mengatakan trennya kasus Covid-19 di dunia belum memperlihatkan penurunan. Hingga hari ini, kematian sudah mencapai 294.190 hanya dalam jangka waktu 3 bulan.
Di Indonesia, jelas dia, setiap hari masih tercatat 400-500 kasus baru. Dengan demikian, penemuan obat Covid-19 yang efektif bukan lagi program lokal lantaran tidak ada negara yang bisa memastikan bebas dari Covid-19.
“Kalau kita menambah 1 hari keterlambatan menemukan pengobatan, berapa kematian yang diakibatkan oleh pandemi ini. Untuk itu diperlukan kerja sama global,” ujarnya dalam Webinar Diplomasi Kesehatan Global di Masa Pandemi, Jumat (15/5/2020).
Jika setiap negara mencari obat sendiri-sendiri maka akan memerlukan waktu 12 tahun untuk proses uji klinis hingga pemasaran.
Belum lagi harus mengumpulkan lebih dari 3.000 sampel untuk trial standar yang bisa memakan waktu 1-2 tahun.
Sebagai gambaran, pengujian obat harus melewati beberapa proses seperti perkembangan dari pra klinis, proses inisiatif new drug (IND), uji klinis fase I, uji klinis fase II, uji klinis fase III, pemasaran, lalu uji klinis fase IV.
Syukurnya, Indonesia telah bergabung dalam program Solidarity Trial yang digagas oleh WHO untuk menemukan obat Covid-19 yang efektif. Bahkan, Indonesia menjadi negara pertama yang bergabung dari Asean. Saat ini sudah lebih dari 100 negara bergabung dalam program tersebut.
Yang berbeda, dalam pengembangan obat ini, proses pencanangan obat baru tidak dilakukan dari awal karena memanfaatkan obat yang selama ini telah diuji cobakan untuk penyakit sejenis, seperti ebola dan MERS.
“Jadi pengembangan fase I dan II kita lewati, jadi kita menghemat waktu yang banyak sekali. Uji klinis fase III kalau dilakukan secara standar paling cepat satu tahun baru bisa sampai di pasaran. Kita tidak punya waktu untuk itu,” katanya.
Saat ini Solidarity Trial tengah menguji empat macam obat, di antaranya Klorokuin (untuk malaria), Hydrox Klorokuin, Alufia (terdiri dari Ropifinafir, dan Ritonavir yang dipakai pengobatan HIV). Dua obat pertama ini tersedia di Indonesia. Ketiga, kombinasi pemberian Alufia dengan Interferon. Keempat, Remdesivir yang sudah dikembangkan oleh WHO.
“Kalau yang terlibat banyak, maka subjek yang diikutsertakan akan semakin cepat, semakin bagus. Jadi selesai fase III dalam beberapa bulan dan bisa segera keluar keputusan mana obat yang paling bagus,” tuturnya.
Hasil yang cepat tidak mungkin terjadi tanpa bantuan berbagai pihak dalam negeri juga seperti Kemenkes, perhimpunan paru Indonesia, 22 rumah sakit yang berpartisipasi, dan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) yang juga terus mempercepat izin uji klinik.
Namun, meski harus cepat, protokol uji klinis Solidarity Trial ini harus tetap mengikuti Protokol Uji Klinis. Protokol ini dibuat sederhana dengan tujuan semua rumah sakit bisa melakukan pengujian tanpa ada proses pemeriksaan yang rumit.