Bisnis.com, JAKARTA - Keputusan pemerintah yang kembali menaikkan iuran BPJS Kesehatan dinilai merupakan bentuk ketidaktaatan terhadap hukum dan putusan Mahkamah Agung (MA).
Direktur LBH Jakarta Arif Maulana mengatakan, langkah kenaikan iuran yang dilakukan Presiden Jokowi adalah bentuk pembangkangan hukum.
Pasalnya, MA dalam putusannya telah menetapkan ada kaidah hukum yang tidak didasarkan pada pertimbangan yang memadai dari segi yuridis, sosiologis, dan filosofis.
Dia melanjutkan, meskipun nominal kenaikan iuran dalam ketentuan terbaru ini lebih kecil, tetapi tindakan ini menunjukkan sikap tidak menghormati dan pembangkangan Presiden terhadap putusan MA.
"Mengeluarkan sebuah keputusan dengan dasar yang sama hanya menunjukan Presiden bermain-main dengan putusan MA dan tidak menghormati hukum," katanya pada Kamis (14/5/2020).
Arif melanjutkan, tindakan ini telah melanggar ketentuan Pasal 31 UU Mahkamah Agung serta asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan dalam UU No. 12 Tahun 2011 dengan mereplikasi pengaturan yang telah dinyatakan tidak sah.
Baca Juga
Selain itu, penerbitan peraturan baru ini juga menunjukkan ketidakpedulian pemerintah terhadap pemenuhan hak kesehatan masyarakat Indonesia. Apalagi, hak ini kian vital untuk dipenuhi mengingat pandemi virus corona yang tengah terjadi.
Menurutnya, kebijakan ini akan semakin memperberat beban rakyat di sektor kesehatan. Seharusnya, pemerintah memperbaiki dan meningkatkan keterjangkauan layanan BPJS bagi masyarakat yang membutuhkan.
"Kami meminta kebijakan yang kian memiskinkan masyarakat di tengah pandemi ini untuk dihentikan," pungkasnya.
Sebelumnya, Pemerintah resmi menetapkan Peraturan Presiden (Perpres) No.64/2020 yang mengatur mengenai penyesuaian besaran iuran peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional-Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS).
Pemerintah menetapkan bahwa besaran iuran peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) senilai Rp42.000. Dalam Pasal 29 beleid tersebut, tertulis bahwa iuran peserta PBI dibayarkan oleh pemerintah pusat disertai kontribusi pemerintah daerah sesuai dengan kapasitas fiskal daerahnya.
Perubahan cukup signifikan terjadi bagi peserta mandiri, yakni peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP). Iuran yang sebelumnya hanya dibayarkan oleh peserta kini turut dibantu oleh pemerintah, baik melalui pemerintah pusat maupun daerah.
Pemerintah menentukan untuk Juli 2020, peserta mandiri Kelas III akan membayarkan iuran Rp25.500 bagi dirinya atau pihak lain atas nama peserta itu. Pemerintah pusat memberikan bantuan iuran senilai Rp16.500 untuk setiap peserta mandiri, sehingga total iurannya menjadi Rp42.000, sama seperti peserta PBI.
Adapun, peserta mandiri Kelas III yang sebelumnya iurannya dibayarkan oleh pemerintah daerah sebagai bagian dari penduduk yang didaftarkan pemerintah itu, besaran iurannya sebesar Rp25.500.
Besaran iuran Kelas III yang dibayarkan peserta mandiri maupun yang dibayarkan oleh pemerintah daerah akan meningkat pada 2021 menjadi Rp35.000. Namun, besaran iuran yang dibayarkan pemerintah pusat menjadi Rp7.000, sehingga total iuran peserta mandiri per orang per bulannya tetap Rp42.000.
Pada 2021, iuran peserta mandiri Kelas II akan meningkat menjadi Rp100.000, dari saat ini sebesar Rp51.000. Lalu, iuran peserta mandiri Kelas I naik menjadi Rp150.000, dari saat ini Rp80.000.