Bisnis.com, JAKARTA - Inggris merupakan salah satu negara di Benua Eropa yang memiliki dampak cukup parah dari wabah virus Corona (Covid-19). Dalam catatan Johns Hopkins University of Medicine, Negeri Ratu Elzabeth itu memiliki 154.037 pasien positif dengan 20.795 yang meninggal dunia.
Catatan itu membuat Inggris menjadi negara keenam yang mengkonfirmasi pasien positif terbanyak di dunia, di bawah Amerika Serikat, Spanyol, Italia, Prancis, dan Jerman.
Dengan tingginya angka itu, maka sulit bagi pemerintah setempat untuk mengendurkan status lockdown Negara Kerajaan tersebut. Hal ini diungkapkan oleh Perdana Menteri Boris Johnson.
Johnson, yang baru Senin (27/4/2020) ini kembali bekerja setelah sebelumnya terpapar virus Corona, mengatakan bahwa pemerintahannya belum tahu kapan akan mengendurkan kebijakan lockdown.
"Kami tidak bisa menjelaskan seberapa cepat atau lambat, atau bahkan kapan, perubahan [lockdown] itu akan dilakukan," kata Johnson dalam BBC.
Johnson mengatakan bahwa Inggris berada pada titik "risiko maksimum" sehubungan dengan usaha melawan virus Corona. "Saya tahu ini sulit. Saya ingin ekonomi bergerak secepat yang saya bisa," katanya. "Tapi saya menolak untuk membuang pengorbanan rakyat Inggris."
Baca Juga
Ia pun menambahkan, pemerintah akan transparan soal penanganan virus Corona di Inggris. "Jelas pemerintah akan mengatakan lebih banyak tentang ini dalam beberapa hari mendatang. Keputusan ini akan diambil dengan transparansi semaksimal mungkin, katanya.
Sebelumnya, pejabat Kementerian Kesehatan Inggris, Edward Argar, mengatakan hal yang sama.
"Kami tidak berada dalam posisi untuk melonggarkan kebijakan lockdown, ilmu pengetahuan [ilmuwan] mengatakan hal itu," ucap Argar dalam BBC. Sejatinya, batas lockdown Inggris berakhir pada 7 Mei mendatang. Kini spekulasi di tengah masyarakat Inggris menguat ke arah perpanjangan lockdown.