Bisnis.com, JAKARTA – Jauh sebelum virus corona (Covid-19) menjadi perhatian global pada akhir Januari, Lim Wee Chai punya firasat perusahaannya menuju tahun yang baik.
Sejak dia mendirikan Top Glove Corp. Bhd., produsen sarung tangan medis terbesar di dunia, pada tahun 1991, ada satu hal yang konstan bagi bisnisnya. Pandemi selalu baik untuk bisnis.
“SARS, H1N1, flu burung, flu babi — ada lonjakan pesanan dan permintaan,” kata Lim. “Jadi ketika laporan tentang virus misterius mulai muncul dari China, kami mempersiapkan diri untuk hal besar."
Setali tiga uang dengan Lim, sejumlah pesaingnya di Malaysia menikmati berkah yang sama, karena negeri ini merupakan produsen sarung tangan medis terbesar di dunia, dengan pangsa pasar sekitar 65 persen.
Belasan perusahaan, yang sebagian besar terpusat di kota-kota industri dekat Kuala Lumpur, menghasilkan lebih dari 200 miliar unit sarung tangan setiap tahun, yang diperuntukkan bagi klinik dokter dan rumah sakit di seluruh dunia. Sektor ini telah tumbuh dengan stabil sejak 1980-an, seiring dengan standar kebersihan yang lebih ketat di negara maju dan peningkatan layanan medis di China, India, dan negara berkembang lainnya.
Pada tahun 2019, Malaysia mengekspor sekitar 182 miliar sarung tangan dan menghasilkan pendapatan US$4,31 miliar. Tahun ini, menurut Asosiasi Produsen Sarung Tangan Karet Malaysia, penjualan sarung tangan dapa tmencapai 240 miliar.
Ekspektasi lonjakan ini membuat perusahaan sarung tangan menjadi salah satu dari sedikit titik terang dalam perekonomian negara ini, dengan saham Top Glove melonjak 45 persen sejak awal tahun 2020.
"Saya dapat menjamin Anda bahwa setiap produsen sarung tangan di Malaysia hari ini akan berkembang,” Kata Denis Low, presiden asosiasi, seperti dikutip Bloomberg.
Dominasi sarung tangan Malaysia berawal dari tahun 1980-an yang disebut-sebut menjadi periode “big bang." Pemicunya adalah epidemi AIDS, yang menciptakan lonjakan permintaan sarung tangan untuk dokter, perawat, dan petugas kesehatan lainnya, dan bahkan untuk polisi di AS dan Eropa.
Pabrik-pabrik Barat tidak dapat mengikuti, dan para pengusaha Malaysia, yang mendapat manfaat dari biaya tenaga kerja yang lebih rendah, melangkah untuk mengisi kekosongan. Meskipun AIDS ternyata kurang tidak lebih menular daripada yang ditakutkan pada awalnya, permintaan sarung tangan sebagian besar masih bertahan.
Di awal lonjakan produksi silam, produsen sarung tangan Malaysia juga diuntungkan dengan akses mudah bahan baku utama industri ini: getah karet yang diolah menjadi lateks. Pepohonan karet tumbuh subur di iklim panas dan lembab Malaysia, dan membuat Negeri Jiran ini menjadi salah satu eksportir karet utama.
Meskipun sarung tangan karet alami saat ini kurang hanya menguasai kurang dari setengah pangsa pasar, sebagian karena kekhawatiran tentang reaksi alergi, industri minyak besar Malaysia menyediakan bahan baku yang cukup untuk membuat sarung tangan sintetis.
Munculnya pembuatan sarung tangan Malaysia bukan tanpa kontroversi. Pada tahun 2018 The Guardian menuduh Top Glove dan WRP Asia Pacific Sdn. Bhd. memperlakukan buruh migran dengan tidakmanusiawi, yang berujung pada larangan impor sarung tangan produksi WRP.
Kedua perusahaan membantah kesalahan dan AS mencabut larangannya pada WRP pada akhir Maret tahun tersebut karena perusahaan tidak lagi memproduksi sarung tangan karet di bawah kondisi kerja paksa.
Pengawasan terhadap industri tersebut cukup memperbaiki kondisi bagi pekerja, yang sebagian besar berasal dari Nepal dan Bangladesh. "Tetapi masih ada masalah besar," kata Andy Hall, seorang aktivis Inggris yang mempelajari industri ini sejak 2014.
Kebutuhan mendesak akan sarung tangan akibat pandemi virus corona bisa menggoda pemerintah untuk mencari cara lain dalam menanggapi pelanggaran saat ini dan di masa depan. “Kita perlu meningkatkan produksi, tetapi para pekerja juga perlu dilindungi, tidak terkecuali dari risiko tertular virus itu sendiri,” kata Hall.
Perusahaan-perusahaan sarung tangan lokal berlomba habis-habisan untuk mendapatkan lebih banyak produk, bahkan ketika sebagian besar perekonomian Malaysia terhenti akibat lockdown. Selama 12 hari pertama langkah lockdown berlaku, pabrik-pabrik sarung tangan dapat beroperasi dengan hanya 50 persen kapasitas pekerjanya . Industri ini telah menerima pengecualian, meskipun banyak pemasok dan mitra logistik masih terganggu.
Di Top Glove, krisis membutuhkan kompromi lainnya. Dengan sebagian besar perjalanan internasional terhenti, perusahaan tidak dapat mempekerjakan pekerja baru di luar negeri dan sedang berusaha mencari pekerja lokal untuk mengisi kekosongan karena meningkatnya produksi. Perusahaan menggunakan hampir seluruh kapasitas produksi, dan waktu tunggu yang diperlukan untuk memenuhi pesanan telah naik dari 30 hari menjadi 150 hari.
Tujuan ekspor industri tersebut mencerminkan perkembangan pandemi. Tidak mengherankan, lonjakan permintaan pertama Top Glove tahun ini berasal dari China, diikuti oleh Korea Selatan, Hong Kong, dan Singapura. Italia, Spanyol, dan negara-negara Eropa lainnya.