Bisnis.com, JAKARTA – Sejak pertangahan Januari lalu, China dilaporkan telah mengetahui bahwa virus corona baru yang terjadi di negaranya bisa menjadi pandemi mematikan. Akan tetapi, mereka mengatakan kepada dunia bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan.
Menurut laporan dari Associated Press, sebuah memo panggilan telepon rahasia pada 14 Januari antara Head of National Health Commision Ma Xiaowei dengan pejabat kesehatan provinsi menyatakan bahwa penularan virus dari manusia ke manusia dimungkinkan dan semua daerah harus bersiap untuk menanggapi kemungkinan pandemi.
Panggilan itu seharusnya menyampaikan perintah langsung tentang coronavirus dari Presiden Xi Jinping dan pejabat tinggi pemerintah Cina lainnya. Akan tetapi, dalam 6 hari berikutnya otoritas kesehatan China secara terbuka menyatakan bahwa virus berisiko rendah bagi manusia.
Wuhan Health Commision pada 14 Januari, waktu yang sama dengan panggilan bersama Xiaowei – mengatakan bahwa pihaknya tidak menemukan bukti untuk penularan virus dari manusia ke manusia lainnya.
Keesokan harinya pun, Head of the Center for Disease Control and Prevention’s Li Qun mengatakan kepada televisi pemerintah bahwa risiko penularan dari manusia ke manusia sangat rendah.
Pada saat itu, World Health Organization yang bergantung pada informasi dan data dari negara masing-masing, mengambil informasi dari China dan menawarkan saran yang sama kepada negara-negara lain di seluruh dunia.
Baca Juga
“Investigasi awal yang dilakukan oleh otoritas China tidak menemukan bukti yang jelas tentang penularan dari manusia ke manusia,” tulis WHO melalui akun resmi Twitter-nya pada 14 Januari.
Namun demikian, pada 20 Januari, 6 hari setelah pengumuman dan panggilan telepon rahasia, Presiden China XI Jinping akhirnya memberi tahu masyarakat untuk berlatih mengimplementasikan social distancing dan menghindari berpergian.
Zhong Nanshan, seorang ahli epidemiologi China juga mengatakan melalui televisi pemerintah bahwa virus itu sebenarnya ditularkan di antara manusia. Jeda waktu 6 hari tersebut yang dinilai merupakan respons buruk China terhadap informasi virus corona baru yang menyebabkan pandemi COVID-19.
Zuo Feng Zhang, ahli epidemiologi di University of California mengatakan bahwa jika China mengambil tindakan 6 hari sebelumnya, akan ada lebih sedikit pasien dan fasilitas medis yang tersedia akan cukup menangani pasien positif.
“Kami mungkin bisa menghindari runtuhnya sistem medis di Wuhan,” katanya seperti dikutip Business Insider, Kamis (16/4).
Sebuah makalah yang diterbitkan oleh para ilmuwan di Universtu of Southampton, Inggris menyebut bahwa jika pada 14 Januari pihak berwenang China mengatakan kepada warganya untuk mulai menerapkan social distancing dan tindak pencegahan lain, jumlah kasus infeksinya kemungkinan berkurang hingga 66 persen.
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dalam beberapa waktu terakhir telah berulang kali menuduh WHO menjatuhkan bola pada krisis virus corona baru dengan tidak cukup meneliti respons yang dilakukan oleh China.
Trump, pada Selasa (14/4) mengatakan bahwa dirinya akan menarik dana tahunan AS untuk WHO dengan mengatakan mereka telah menjadi corong bagi misinformasi yang dilakukan oleh China dan bahkan memuji negara itu karena transparansinya.
WHO dilaporkan telah secara konsisten memuji tindakan China dalam mengatasi krisis. Pada 29 Januari, Director General WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan bahwa China sebenarnya membantu mencegah penyebaran virus corona ke negara lain.
Pada saat yang sama, Executive Director WHO Health Emergencies Program, Michael Ryan, juga mengatakan bahwa China telah melakukan hal yang benar dan WHO tidak melihat adanya hal yang ditutup-tutupi.
Namun begitu, sejumlah pihak termasuk beberapa pemerintahan negara dan para ahli terus mempertanyakan informasi yang diberikan oleh China. Mereka menyebut ada upaya menyensor informasi, membungkam wartawan, dokter dan konten di internet.
Pada akhirnya, WHO menyatakan virus corona baru ini atau yang dikenal dengan COVID-19 sebagai pandemi pada 11 Maret lalu. Virus ini hingga sekarang telah menjangkit lebih dari 2 juta orang di seluruh dunia dan memakan korban lebih dari 134.000 jiwa.