Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Dugaan Praktik Tying and Bundling pada Layanan Rapid Test di Rumah Sakit

Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU, sedang melakukan penyelidikan atas dugaan praktik tying and bundling pada layanan kesehatan di rumah sakit terkait wabah virus Corona.
Ilustrasi-Proses rapid test COVID-19 di Jakarta./Antara
Ilustrasi-Proses rapid test COVID-19 di Jakarta./Antara

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pengawas Persaingan Usaha, KPPU, sedang melakukan penyelidikan atas dugaan praktik tying and bundling pada layanan kesehatan di rumah sakit terkait wabah virus Corona.

Berdasar penelusuran Bisnis.com, praktik tying and bundling diharamkan dalam hukum anti persaingan usaha tidak sehat atau antimonopoli.

Praktik tying adalah upaya yang dilakukan pihak penjual yang mensyaratkan konsumen untuk membeli produk kedua saat mereka membeli produk pertama, atau paling tidak konsumen sepakat untuk tidak membeli produk kedua di tempat lain. Sedang praktik bundling adalah upaya penjualan beragam produk dalam satu paket secara bersama-sama.

Praktik tying and bundling ini merupakan hal yang diancam untuk dikenai sanksi dalam hukum antimonopoli. 

Hukum antimonopoli memandang praktik tying atau pengikatan menunjukkan upaya penjual memanfaatkan daya tawar mereka  di satu pasar untuk mendapatkan kekuatan di pasar lain.

Dalam praktik sehari-hari praktik tying and bundling kerap terjadi. Misalnya hal itu terjadi pada pembeli  paket shampo dan kondisioner, atau pisau cukur dan krim cukur. Kasus itu misalnya tercatat oleh Komisi Perdagangan Federal Amerika Serikat, seperti dikutif dari situs project-disco.org.

Disebutkan bahwa menawarkan produk bersama sebagai bagian dari suatu paket dapat menguntungkan konsumen yang menyukai kenyamanan membeli beberapa barang pada saat yang sama. Namun, ada juga kekhawatiran bahwa ikatan dapat digunakan untuk tujuan antikompetitif.

Praktik tying and bundling dinilai melawan prionsip akses bebas pesaing ke pasar untuk produk yang diikat, bukan karena pihak yang memaksakan persyaratan pengikatan memiliki produk yang lebih baik atau harga yang lebih rendah tetapi karena kekuatan atau pengungkitnya di pasar lain. Pada saat yang sama pembeli dipaksa untuk melepaskan pilihan bebas mereka di antara produk yang bersaing.

Sementara itu, dalam keterangan resminya, Rabu (15/4/2020), KPPU menyatakan memutuskan untuk melakukan penelitian perkara inisiatif terhadap Layanan Rapid Test untuk diagnosis Covid-19 oleh rumah sakit.

"Keputusan tersebut dilaksanakan sejalan dengan komitmen KPPU untuk tetap bekerja melakukan
pengawasan persaingan usaha meskipun dalam keadaan bekerja dari rumah (work from home)," ujar KPPU.

Adapun inisiatif tersebut didasarkan atas informasi dari masyarakat yang mengeluhkan penawaran jasa
rapid test Covid-19 secara paket yang dilakukan oleh beberapa rumah sakit.

Akibat penawaran tersebut harga jasa layanan rumah sakit menjadi sangat tinggi.

"Temuan sementara KPPU terkait harga paket yang ditawarkan rumah sakit bervariasi dari kisaran Rp500 ribu hingga bahkan Rp5,7 juta untuk satu kali pengujian. Tentunya nilai tersebut membatasi kemampuan masyarakat untuk membeli layanan rapid test," tulis KPPU.

"Kami mendapat banyak informasi bahwa terdapat beberapa rumah sakit menawarkan layanan rapid test yang diikuti dengan penawaran satu paket layanan kesehatan lainnya saat seseorang ingin melakukan screening awal Covid19. Ini cukup merugikan masyarakat yang hanya ingin melakukan rapid test atau pengecekan
cepat atas virus tersebut," ujar Anggota KPPU Guntur S. Saragih.

Disebutkan bahwa penelitian inisiatif dimulai sejak 13 April 2020 oleh Direktorat Investigasi pada Sekretariat KPPU.

Penelitian inisiatif ini menjadi prioritas di KPPU. Jika hasil penelitian ini menunjukkan adanya bukti pelanggaran, KPPU selanjutnya akan melakukan proses penyelidikan.

“KPPU akan memprioritaskan penelitian ini untuk bisa diselesaikan dalam waktu dekat. Saat ini kami masih terus mengumpulkan data pada lingkup Jabodetabek maupun beberapa daerah di bawah pengawasan Kantor Wilayah KPPU. Jika terdapat minimal satu alat bukti, kami akan lanjutkan ke tahapan penyelidikan,” ujar Direktur Investigasi KPPU Gopprera Panggabean.

Penelitian inisiatif KPPU ini fokus pada pendalaman apakah penawaran paket layanan tambahan untuk memperoleh layanan rapid test merupakan produk tambahan yang wajib (complementary product) atau tidak.

KPPU juga akan mendalami apakah paket layanan tersebut merupakan sesuatu yang dibutuhkan bagi seluruh hasil diagnosis Covid-19 , tanpa menghiraukan apa pun hasil rapid test tersebut.

"Jika produk tambahan tersebut bukan komplementer, maka hal ini berpotensi melanggar norma pasal 15 ayat (2) UU No. 5 Tahun 1999, lanjut Gopprera," demikian dijelaskan KPPU.

KPPU berharap setiap pihak tidak melakukan pelanggaran UU No. 5/1999, khususnya dalam kondisi bencana nasional wabah Covid-19 ini.

Sementara itu, Pasal 15 ayat (2), UU No. 5/1999 menyebutkan bahwa pelaku usaha dilarang membuat perjanjian dengan pihak lain yang memuat persyaratan bahwa pihak yang menerima barang dan atau jasa tertentu harus bersedia membeli barang dan atau jasa dari pelaku usaha pemasok. 


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Saeno
Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper