Bisnis.com, JAKARTA – Penerapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1/2020 berpotensi disalahgunakan dan ditumpangi “penumpang gelap” tanpa adanya kejelasan rincian dari pemerintah
Sekretaris Kabinet Negara Periode 2010 – 2014 Dipo Alam mengatakan, meskipun Perppu No. 1/2020 bertujuan untuk menangani masalah ekonomi yang ditimbulkan akibat pandemi Covid-19, ia mempertanyakan alokasi anggaran bantuan untuk pandemi ini. Pasalnya, sebesar 54,3 persen dari dana tersebut digunakan untuk memberikan insentif ekonomi serta relaksasi pajak korporasi.
Sementara itu, anggaran belanja pemerintah untuk kesehatan hanya 18,5 persen, dan anggaran social safety net sebesar 27,1 persen. Menurutnya, tanpa penjelasan yang memadai, insentif ekonomi dan relaksasi pajak berpotensi menjadi kebijakan abu-abu.
“Dari rancangan awal ini sudah terbuka pintu kemungkinan moral hazard, bahkan dicurigai dirancang sejak awal,” katanya
Menurut Dipo, praktik penerapan perppu ini dapat bertolak belakang dari tujuan awalnya. Apalagi, ada sejumlah pasal di dalam Perppu No. 1/2020 yang rentan terhadap penyelewengan.
Pertama, pada dalam Pasal 27, segala tindakan serta keputusan yang diambil berdasarkan perppu tersebut tak boleh dianggap sebagai kerugian negara, karena merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk mengatasi krisis.
Ketentuan itu berlaku untuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara, bidang keuangan daerah, pembiayaan, stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional. Selain itu, para pejabat yang terlibat di dalamnya, tak bisa digugat ke pengadilan, baik secara perdata maupun pidana. Semua keputusan yang diambil berdasarkan perppu tersebut juga tidak bisa digugat ke peradilan tata usaha negara, sehingga tidak bisa dibatalkan.
“Pasal tersebut dapat memunculkan celah korupsi dan manipulasi. Ruang moral hazard gampang dilakukan dengan kekebalan hukum seperti ini,” katanya pada Rabu (15/4/2020) di Jakarta.
Kedua, pada Pasal 2 Perppu ini batas defisit APBN 2020 boleh melebihi 3 persen Produk Domestik Bruto (PDB). Ketentuan ini berlaku bukan hanya bagi APBN 2020, tapi berlaku tiga tahun hingga 2022. Padahal, jika merujuk pada UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, batas maksimal defisit APBN yang diizinkan adalah 3 persen.
Dipo mengkhawatirkan, pasal ini dapat disalahgunakan pemanfaatannya. Pasal ini berpotensi digunakan untuk melancarkan proyek-proyek mercusuar pemerintah yang kian kehilangan urgensinya di saat krisis, bukan untuk membantu masyarakat di tengah pandemi.
“Implikasi Pasal 2 seperti itu dapat menjadi sangat berbahaya. Pemerintah memiliki kewenangan untuk bebas mencetak utang secara besar-besaran yang dikhawatirkan kedepannya menjadi tidak terkontrol,” jelasnya.
Ketiga, ia juga mencermati rencana pemerintah menerbitkan recovery bonds untuk menggalang dana yang nantinya akan disalurkan kepada dunia usaha dengan bunga ringan. Menurut Dipo, skema kredit tersebut tidak berbeda jauh dengan pemberian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) pada saat krisis 1998.
“Alih-alih berputar menggerakkan roda perekonomian dalam negeri, gelontoran kredit semacam itu justru potensial dilarikan ke luar negeri,” katanya.
Menurutnya, tanpa perincian dan penjelasan yang rinci dari pemerintah terkait skema pemberian bantuan, perppu ini berpotensi disalahgunakan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
“Jangan sampai krisis pandemi global virus corona ini ditunggangi oleh para penumpang gelap,” pungkasnya.