Bisnis.com, JAKARTA - Nyaris dua pekan terakhir, terjadi masalah dalam pengaturan transportasi massal Ibu Kota di tengah upaya pemerintah mengatasi penyebaran virus Covid-19.
Di media sosial, bertebaran gambar antrean calon penumpang yang menumpuk. Bahkan, ada pula gambar penumpang kereta listrik yang berimpitan, berdesakan, bergantungan di dalam gerbong yang sempit.
Awalnya pemerintah provinsi DKI Jakarta membatasi waktu layanan transportasi umum yang melintas di wilayahnya.
Layanan bus Transjakarta, MRT, KRL dibatasi mulai pukul 06.00 hingga 18.00. Itu semua agar masyarakat mematuhi seruan dan imbauan agar tercipta kondisi jaga jarak sosial (social distancing).
Skema social distancing ini penting untuk memutus mata rantai penyebaran virus Covid-19 atau yang beken disebut virus Corona. Premisnya, semakin sedikit orang yang berinteraksi di tempat umum, semakin kecil pula ruang penyebaran virus tersebut.
Imbauan social distancing itu memang sangat baik dilakukan. Namun, abai diterapkan masyarakat. Ada beberapa penyebab, anjuran social distancing tak dipatuhi masyarakat.
Baca Juga
Sosialisasi yang belum optimal boleh jadi merupakan hal pertama yang menyebabkan 'jaga jarak' tak kunjung optimal diterapkan.
Pengumuman Pemprov DKI dilakukan pada akhir pekan dan semua pihak manggut-manggut setuju. Sayangnya, inti pesan seakan tak sampai pada masyarakat.
Entah karena masuk telinga kanan, keluar telinga kiri, atau memang desakan faktor ekonomi membuat masyarakat tetap melakukan kegiatan seperti biasa pada awal pekan.
Senin pagi, pujian berubah jadi omelan. Antrean calon penumpang mengular. Gerbong KRL penuh sesak dengan orang-orang dari daerah penyangga Jakarta yang ingin berangkat bekerja di Ibu Kota.
Penumpang berada di dalam Kereta Rel Listrik (KRL) di Stasiun Pondok Ranji, Tangerang Selatan, Banten, Senin (23/3/2020). Bisnis - Eusebio Chrysnamurti
Senin siang, kebijakan pembatasan layanan pun dianulir. Tak banyak yang berubah. Orang tetap berjubel di tempat umum. Anjuran #dirumahsaja hanya sekadar imbauan. Potensi risiko penyebaran virus Corona meningkat.
Data resmi pemerintah memperlihatkan jumlah yang terpapar virus Corona terus bertambah tiap hari. Jumlah korban jiwa pun demikian. DKI Jakarta tetap menjadi episenter pandemi Corona di Tanah Air.
Sebenarnya tak bisa pula masyarakat yang terus berjubel di transportasi publik disalahkan. Mereka mengejar pemenuhan kewajiban sebagai pekerja, terutama pegawai swasta yang kantornya memang tak meliburkan karyawannya.
Di sisi lain, perusahaan juga menghadapi dilema. Wabah penyakit yang prolong, memakan waktu lama, sangat berpotensi menggerus pendapatan perusahaan. jika tak beroperasi, korporasi menghadapi kerugian yang nilainya tak sedikit.
Skema bekerja dari rumah atau work from home pun menjadi alternatif. Bagi perusahaan yang sebagian karyawannya bisa bekerja dari rumah, skema WfH ini dapat diterapkan. Tapi sampai kapan?
Tak semua perusahaan juga dapat melakukan WfH. Kapasitas produksi yang menurun pun membayangi kerugian perusahaan.
Pemerintah pun sudah tegas menyatakan skema menggembok kota atau lockdown bukanlah opsi yang dipilih. Bisa jadi, penguncian kota membuat pebisnis akan merugi. Asumsinya, pebisnis merugi, ekonomi negeri ini juga merosot.
Pemerintah menargetkan pada tahun ini ekonomi kita akan tumbuh di atas 5 persen. Jika mengacu kondisi sekarang, virus corona jelas akan menggerogoti target pertumbuhan tersebut.
Namun, banyak pula yang menilai kerugian pebisnis dari kebijakan pembatasan sosial adalah kewajaran jika melihat dampak positif dari sisi kemanusiaan.
Kesehatan menjadi komoditas yang lebih mahal saat ini dalam neraca keuangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Saya tetap melihat pro kontra kebijakan pembatasan sosial, belumlah benar-benar fokus pada kepentingan masyarakat terutama para pekerja. Dukungan anggaran negara untuk pekerja informal jugalah penting.
Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mungkin sudah punya hitung-hitungan berapa banyak subsidi untuk para pekerja yang ber-KTP Monas. Bagaimana dengan nasib pekerja asal daerah sekitar Jakarta?
Pekerja penglaju yang memasuki Jakarta dari Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi jelas tak punya banyak pilihan dari sisi ekonomi.
Mereka bagai barisan semut hitam yang berjalan menembus semua rintangan. Kondisi yang mirip dalam lagu God Bless berjudul Semut Hitam yang dirilis 1987.
Satu semboyan di dalam tujuan,
Cari makan lalu pulang.
Begitu syairnya. Namun, bagai pepatah pula, ada gula ada semut. Harusnya gulanya dimasukkan dalam toples tertutup rapat sehingga semut pun tak bisa berkerumun.
Ada waktunya gula dikeluarkan dari dalam toples lalu disajikan. Tentu semua ingin manis pada akhirnya.