Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Skema Penyaluran BOS Diubah, Ini yang Diharapkan

Pemerintah telah menetapkan perubahan skema penyaluran dana bantuan operasional sekolah (BOS) langsung ke rekening sekolah
Tabel komponen pembiayaan BOS/Istimewa-bos.kemdikbud.go.id
Tabel komponen pembiayaan BOS/Istimewa-bos.kemdikbud.go.id

Bisnis.com, JAKARTA - Pada 10 Februari 2020 pemerintah menetapkan perubahan skema penyaluran dana bantuan operasional sekolah atau BOS. Dana BOS disalurkan langsung ke rekening sekolah. Sebelumnya pemerintah pusat rutin mengalokasikan dana BOS ke seluruh sekolah di Indonesia melalui Rekening Kas Umum Daerah.

Skema penyaluran ini bukanlah hal baru dalam sistem penyaluran dana BOS. Tahun 2009/2010 sistem penyaluran ke sekolah langsung sempat dilakukan.

Perubahan skema penyaluran kali ini tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2020 tentang perubahan atas PMK Nomor 48 tahun 2019 tentang pengelolaan DAK (Dana Alokasi Khusus) Non Fisik.

Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy menjelaskan, upaya memperpendek skema penyaluran dana BOS dilakukan dengan harapan sekolah mempunyai fleksibilitas yang tinggi dalam mengelola anggaran.

“Diharapkan sekolah bisa lebih leluasa dalam pendanaan operasional sekolah," kata Muhadjir dalam keterangan resminya, Kamis (5/3/2020).

Muhadjir menyampaikan beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam penyaluran dana BOS ini.

Menurut Muhadjir penyaluran dana BOS jangan sampai hanya berpusat ke instansi pendidikan di bawah Kemendikbud. Instansi pendidikan di bawah kementerian lain yakni Kemenag yang menaungi madrasah juga harus mendapat perlakuan yang proporsional.

Muhadjir menuturkan bahwa kontribusi madrasah cukup besar, sementara alokasi anggarannya masih kurang memadai. Memang masih perlu kecermatan dalam menyusun program prioritas, misalnya Program 1.000 Doktor di Kemenag. Diingatkan Muhadjir bahwa UUD mengamanatkan 'Negara wajib mengalokasikan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.'

"Jika dilihat dari populasi siswa, madrasah yang ada di Kementerian Agama menyumbang sekitar 17 persen dari total populasi siswa. Karena itu tidak boleh hanya memerhatikan yang ada di Kemendikbud saja. Tapi juga siswa yang ada di Kemenag,” tutur Muhadjir.

Pemerintah juga perlu mengupayakan untuk mengalokasikan gaji guru honorer yang bersumber dari dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Idealnya insentif guru honorer dapat menggunakan kelebihan DAU, karena setiap tahun alokasi DAU meningkat sementara jumlah guru pensiun dan tidak diganti cukup besar.

Secara logika alokasi DAU untuk gaji PNSD mestinya mengecil. Lebih lanjut Menko PMK mendukung kebijakan Mendikbud yang memperbolehkan maksimum 50 persen dana BOS untuk pembayaran gaji guru honorer yang memiliki Nomor Unik Pendidik dan Tenaga Kependidikan (NUPTK). Kemenag perlu menyesuaikan dengan kebijakan tersebut agar tidak terjadi perbedaan yang mencolok.

“Keberadaan guru honorer harus menjadi perhatian karena itu sebagai komponen pendidikan dan faktanya banyak yang sudah mengabdi cukup lama,” kata Muhadjir.

Menko PMK mengingatkan baik Mendikbud maupun Menag agar terus meng-update data siswa. Jangan sampai data siswa tidak akurat, mengingat penyaluran BOS berdasar pada jumlah siswa di setiap sekolah dan madrasah. Mendikbud sependapat dengan pandangan Menko PMK dan menyampaikan bahwa sedang dikembangkan satu platform yang mampu mencegah ketidakakuratan data, baik data sekolah rusak, jumlah guru, maupun jumlah siswa.

Sesuai dengan arahan Presiden Joko Widodo, Muhadjir menyampaikan agar Kemendikbud dan Kemenag dalam memanfaatkan anggaran pendidikan harus memerhatikan tiga hal yakni Indeks Pembangunan Manusia (IPM), masalah kemiskinan, dan ketimpangan. Komponen pendidikan sangat dominan berpengaruh dalam IPM.

Muhadjir menyebutkan Angka Partisipasi Kasar Pendidikan Menengah saat ini masih relatif rendah, apalagi APK Pendidikan Tinggi. Selain itu angkatan kerja menurut data BPS sekitar 64 persen berpendidikan maksimum setingkat SMP dan 25 persen setingkat SMA.

Muhadjir meminta Kemdikbud dan Kemenag agar mampu mengeluarkan terobosan yang bisa mengurai permasalahan tersebut.

“Jadi tidak mungkin kita meningkatkan produktivitas nasional jika proporsi terbesar angkatan kerja kita berpendidikan rendah. Makanya perlu ada terobosan-terobosan dari Kemendikbud dan Kemenag. Saya akan pantau betul kerja samanya untuk meningkatkan IPM,” kata Muhadjir.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel


Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper