Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Tangani Kasus Suap Garuda, KPK Dapat Tambahan Kekuatan

Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat tambahan kekuatan  dalam penanganan kasus dugaan suap terkait pengadaan mesin pesawat PT Garuda Indonesia.
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Kamis (11/1/2018)./ANTARA-Wahyu Putro A
Mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia, Emirsyah Satar bersiap menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Kamis (11/1/2018)./ANTARA-Wahyu Putro A

Bisnis.com, JAKARTA - Komisi Pemberantasan Korupsi mendapat tambahan kekuatan  dalam penanganan kasus dugaan suap terkait pengadaan mesin pesawat PT Garuda Indonesia.

Kekuatan tambahan itu berupa kesepakatan Deferred Prosecution Agreement (DPA) antara Serious Fraud Office (SFO) dengan Airbus SE untuk menangani kasus Garuda tersebut.

Pelaksana tugas (Plt) Juru Bicara KPK Ali Fikri menjelaskan dalam kesepakatan DPA, SFO bersedia menunda proses penuntutan pidana terhadap Airbus SE. Namun, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi Airbus SE.

"Syaratnya, Airbus SE bersedia bekerja sama penuh dengan penegak hukum mengakui perbuatan, membayar denda, dan melakukan program reformasi dan tata kelola perusahaan," ujar Ali dalam keterangannya Minggu (9/2/2020).

Ali menjelaskan Airbus SE bersedia membayar denda sejumlah EUR 991 jutakepada Pemerintah Inggris. Jumlah tersebut adalah bagian dari kesepakatan global sebesar EUR 3,6 miliar yang akan dibayarkan Airbus SE kepada Pemerintah Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat. 

Adapun kesepakatan DPA adalah hasil penyidikan yang dilakukan SFO terhadap dugaan pemberian suap yang dilakukan oleh Airbus SE kepada pejabat-pejabat yang ada di 5 yurisdiksi seperti Indonesia, Sri Lanka, Malaysia, Taiwan, dan Ghana pada kurun waktu 2011-2015. 

KPK mengapresiasi SFO dan penegak hukum lain di Inggris atas kesepakatan tersebut. Adapun sejak awal penanganan kasus, KPK juga telah bekerja sama dengan otoritas penegak hukum di beberapa negara terkait, di antaranya SFO Inggris dan CPIB Singapura.

Di Indonesia, Ali menambahkan penyidikan yang dilakukan SFO sejalan dengan proses penanganan perkara Garuda yang dilakukan KPK. 

"KPK yakin DPA akan memperkuat alat bukti dalam penyidikan dan penuntutan perkara dugaan suap terkait dengan pengadaan mesin pesawat PT. Garuda Indonesia," jelas Ali.

Dalam dokumen Approved Judgement dan Statement of Facts yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari DPA, terdapat uraian fakta terkait dugaan pemberian suap kepada Pejabat PT. Garuda Indonesia. 

KPK sudah menetapkan mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Emirsyah Satar, mantan Direktur Teknik dan Pengelolaan Armada PT Garuda Indonesia Hadinoto Soedigno, dan pendiri PT Mugi Rekso Abadi (MRA) sekaligus beneficial owner Connaught International Pte Ltd, Soetikno Soedarjo sebagai tersangka.

Saat ini terdakwa Emirsyah Satar dan Soetikno Soedarjo sedang menjalani proses persidangan dan tersangka HDS (Direktur Teknik PT. Garuda Indonesia (Persero) Tbk 2007-2012) masih dalam proses penyidikan.

Emirsyah diduga menerima suap dari Soetikno sebesar EUR1,2 juta dan USD180 ribu atau setara Rp20 miliar. Dalam penyidikan, KPK menyebut uang suap yang diberikan Soetikno kepada Emirsyah dan Hadinoto tidak hanya berasal dari perusahaan AirBus SAS dan Rolls-Royce.

Ada juga kontrak pembelian pesawat ATR 72-600 dengan perusahaan Avions de Transport Regional (ATR). Kontrak pembelian pesawat Bombardier CRJ 1000 dengan perusahaan Bombardier Aerospace Commercial Aircraft.

Selaku konsultan bisnis dari Rolls-Royce, Airbus dan ATR, Soetikno diduga menerima komisi dari tiga pabrikan tersebut. Soetikno juga diduga menerima komisi dari perusahaan Hong Kong, Hollingsworth Management Limited International Ltd (HMI), yang menjadi sales representative dari perusahaan Bombardier.

Pembayaran komisi tersebut diduga terkait keberhasilan Soetikno membantu tercapainya kontrak antara PT. Garuda Indonesia dan empat pabrikan itu. Soetikno selanjutnya memberikan sebagian dari komisi kepada Emirsyah dan Hadinoto.

Kemudian, Emirsyah dan Soetikno kembali ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan pencucian uang. Emirsyah diduga membeli rumah di Pondok Indah senilai Rp5,79 miliar.
 
Dia juga diduga mengirimkan uang ke rekening perusahaannya di Singapura sebanyak US$680 ribu atau setara Rp9,57 miliar dan EUR1,02 juta setara Rp15,78 miliar. Uang itu salah satunya untuk melunasi apartemennya di Singapura sebesar $1,2 juta (Rp12,26 miliar). Adapun fulus itu diduga dari hasil suap pengadaan pesawat di perusahaan pelat merah itu.

Dikutip dari Wikipedia, perjanjian penuntutan yang ditangguhkan (DPA) adalah alternatif sukarela untuk ajudikasi di mana jaksa setuju memberikan pengempunan sebagai imbalan bagi terdakwa yang setuju untuk memenuhi persyaratan tertentu.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Saeno
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper