Bisnis.com, JAKARTA — Unjuk rasa memprotes kebijakan China di Hong Kong masih berlanjut setelah ratusan aktivis berkumpul di pusat kota pada Minggu (19/1/2020).
Aksi protes kali ini tetap memiliki agenda menuntut reformasi demokratis dan menghapus komunisme. Meski demikian, seperti dilansir Reuters, skala unjuk rasa di kota pelabuhan itu sudah tidak sebesar akhir 2019.
Polisi pun menggunakan strategi baru, yakni tiba di lokasi demonstrasi lebih awal, lengkap dengan perlengkapan anti huru hara. Mereka menggelar pemeriksaan kepada orang-orang yang diduga bakal berunjuk rasa.
"Semua orang memahami adanya risiko dari strategi baru polisi ini atau penahanan massal. Saya mengapresiasi warga Hong Kong yang masih ikut serta dalam aksi meskipun ada risiko," ujar koordinator aksi Ventus Lau.
Otoritas Hong Kong telah menahan lebih dari 7.000 orang, sebagian besar dengan tuduhan melakukan kerusuhan. Jika terbukti, mereka dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 10 tahun.
Masih belum diketahui dengan pasti jumlah orang yang masih ditahan.
Baca Juga
Gelombang unjuk rasa ini dipicu oleh rencana implementasi RUU Ekstradisi, di mana pelaku kejahatan di Hong Kong bisa disidang di China daratan. Hal itu dinilai sebagai pelanggaran atas sistem demokrasi yang berlaku di Hong Kong.
Seperti diketahui, Hong Kong menganut One Country, Two Systems sejak dipindahtangankan oleh Inggris ke China pada 1997. Dengan sistem tersebut, warga Hong Kong tetap menikmati kebebasan yang relatif lebih besar dibandingkan warga China daratan tapi tetap mengacu ke kebijakan Beijing.