Kabar24.com, JAKARTA — Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membongkar dugaan keterlibatan pengurus partai dalam kasus dugaan suap Komisioner Komisi Pemilhan Umum (KPU) Wahyu Setiawan.
Koordinator Divisi Korupsi Politik ICW Donal Fariz mengatakan bahwa dugaan itu muncul dari sejumlah fakta yang telah disampaikan KPK. Dia menduga ada aktor lain di internal partai PDI Perjuangan dalam perkara ini.
"ICW mendorong KPK untuk menggali adakah oknum PDIP yang berperan atau terlibat dalam proses PAW [pergantian wantarwaktu] tersebut yang berujung terjadinya praktik suap," kata Donal dalam keterangannya, Jumat (10/1/2020).
Dugaan keterlibatan internal PDIP itu muncul ketika salah satu pengurus partai berlambang banteng moncong putih itu memerintahkan advokat bernama Doni mengajukan gugatan uji materi Pasal 54 Peraturan KPU Nomor 3 Tahun 2019 tentang Pemungutan dan Penghitungan Suara.
Kemudian, PDIP berkirim surat kepada KPU untuk menetapkan Harun Masiku sebagai pengganti caleg Nazarudin Kiemas yang meninggal pada Maret 2019.
Menurut Donal, ketentuan penggantian calon terpilih sebetulnya telah gamblang diatur dalam Pasal 426 Ayat 3 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Pasal tersebut menyatakan, calon terpilih anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diganti oleh KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/ Kota dengan calon dari daftar calon tetap Partai Politik Peserta Pemilu yang sama di daerah pemilihan tersebut berdasarkan perolehan suara calon terbanyak berikutnya.
Adapun dalam kasus ini, KPU dalam rapat pleno memutuskan caleg lain bernama Riezky Aprilia sebagai pengganti Nazaruddin Kiemas berdasarkan UU Pemilu.
Hanya saja, Harun Masiku yang menginginkan posisi itu diduga melakulan pemufakatan bersama Komisioner KPU Wahyu Setiawan dan pihak lain, agar dia yang diputuskan menjadi anggota DPR melalui mekanisme PAW.
"Proses ini menunjukkan adanya peran partai untuk turut mendorong proses PAW ini," ujar Donal.
ICW lantas mendesak KPK untuk mengusut keterlibatan pihak lain, sedangkan pada PDI-P meminta agar partai asuhan Megawati Soekarnoputri itu mendukung dan kooperatif terhadap segala langkah hukum pro-justicia yang dilakukan oleh KPK.
Penetapan Wahyu sebagai tersangka menyusul operasi tangkap tangan KPK di Jakarta, Depok, dan Banyumas dengan mengamankan delapan orang pada Rabu dan Kamis 8-9 Januari 2020.
Wahyu kini resmi ditahan di rutan Pomdam Jaya Guntur usai menjalani pemeriksaan intensif terkait perkara dugaan suap penetapan anggota DPR terpilih 2019-2024.
Sementara tersangka lain, mantan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina yang juga orang kepercayaan Wahyu, ditahan di rutan K4 yang berada tepat di belakang Gedung Merah Putih KPK.
Adapun tersangka terduga pemberi suap, Saeful ditahan di rutan gedung KPK lama, kavling C1, sedangkan caleg PDIP Harun Masiku masih buron.
Dalam kasus ini, Wahyu Setiawan melalui Agustiani yang juga orang kepercayannya diduga menerima suap dengan tujuan agar politisi PDIP Harun Masiku menjadi anggota DPR melalui mekanisme pengganti antar waktu (PAW) untuk mengganti posisi Nazarudin Kiemas yang wafat pada Maret 2019.
Namun, dalam rapat pleno KPU nama pengganti almarhum Nazarudin adalah caleg lain atas nama Riezky Aprilia. Terdapat usaha agar Wahyu tetap mengusahakan nama Harun sebagai penggantinya.
Awalnya, Wahyu meminta Rp900 juta untuk dana operasional dalam membantu penetapan Harun sebagai anggota DPR RI pengganti antar waktu tersebut. Dari serangkaian uang yang dialirkan, diduga Wahyu menerima Rp600 juta.
Adapun sumber dana Rp400 juta melalui perantara Agustiani yang diduga ditujukan pada Wahyu itu masih didalami KPK.
Wahyu Setiawan dan Agustiani lantas disangkakan melanggar Pasal 12 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 11 Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Adapun Harun Masiku dan Saeful disangkakan melanggar pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau Pasal 13 Undang Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.