Kabar24.com, JAKARTA — Aprilliani Dewi, 37, berjuang hingga ke dua lembaga peradilan untuk mengadukan perampasan mobilnya yang dilakukan secara sewenang-wenang.
Pada 7 Januari 2019, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan perdata Dewi melawan sebuah perusahaan pembiayaan grup konglomerasi besar. Duduk soalnya, perusahaan pembiayaan itu mengutus penagih utang (debt collector) untuk menarik mobil penggugat.
Padahal, Dewi dan suaminya, Suri Agung Prabowo, mengklaim rutin mencicil kredit ke perusahaan itu berdasarkan skema jaminan fidusia. Balasannya malah berupa tindakan paksa penagih utang hingga mengumbar ancaman pembunuhan.
Meski tergugat dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, PN Jaksel tidak menganulir alasan perusahaan mengeksekusi mobil Dewi. Pada 11 Januari 2019, kreditur tetap menarik kendaraan roda empat tersebut.
Bahkan, tergugat terus melakukan upaya hukum setelah dinyatakan kalah dari Dewi. Situs Sistem Informasi Penelusuran Perkara (SIPP) PN Jaksel mencatat perkara kedua pihak tengah di Mahkamah Agung (MA) setelah upaya banding di Pengadilan Tinggi DKI Jakarta juga mentok.
Perusahaan pembiayaan itu merasa berhak mengeksekusi mobil dengan bekal ketentuan dalam UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia.
Baca Juga
Fidusia, menurut beleid itu, adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.
Pemilik benda atau objek bertindak sebagai pemberi fidusia (debitur), sementara penerima fidusia (kreditor) adalah pihak yang mempunyai piutang yang pembayarannya dijamin dengan jaminan fidusia.
Sertifikat jaminan fidusia—yang berisi identitas pemberi dan penerima fidusia, uraian benda, nilai penjaminan, hingga nilai benda—mencantumkan irah-irah ‘Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa’ seperti bunyi putusan pengadilan.
Irah-irah dalam sertifikat jaminan fidusia menandakan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap sebagaimana tercantum dalam Pasal 15 ayat (2) UU 42/1999. Alhasil, penerima fidusia berhak melakukan eksekusi sendiri tanpa harus mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan negeri (PN).
Untuk dapat mengeksekusi sendiri, kreditur beralasan adanya cedera janji atau wanprestasi oleh debitur. Celakanya, Pasal 15 ayat (3) UU 42/1999 tidak menguraikan bagaimana cedera janji itu bisa terpenuhi.
GUGAT KE MK
Melihat PN Jaksel tidak menuntaskan permasalahannya, Dewi dan suaminya melabuhkan pengaduan ke Mahkamah Konstitusi (MK) pada Februari 2019. Alasannya, sepanjang Pasal 15 ayat (2) dan (3) masih hidup, selama itu pula dia tidak mendapatkan keadilan.
“Kasus penarikan barang jaminan oleh lembaga pembiayaan dilakukan secara semena-mena. Hal itulah yang dialami Suri Agung Wibowo dan istri yang akhirnya mengajukan permohonan pengujian UU Jaminan Fidusia,” kata Slamet Santoso, salah satu kuasa hukum Dewi, ketika itu.
Dewi mendalilkan pertentangan objek permohonan dengan hak konstitusional warga negara untuk mendapatkan pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan hukum yang sama di hadapan hukum.
Para pemohon meminta MK memaknai kembali Pasal 15 ayat (2) dan (3) agar debitur mendapatkan hak dan perlindungan atas objek jaminan fidusia. Pasangan suami-istri itu percaya mekanisme pengadilan adalah cara paling adil tak hanya buat pemberi, tetapi juga penerima fidusia.
Berjarak 1 tahun kurang 1 hari dari putusan PN Jaksel, tepatnya 6 Januari 2020, Apriliani kembali memenangkan perkara di MK. Putusan lembaga penafsir UUD 1945 itu mengabulkan permintaan pemohon untuk menafsirkan ulang Pasal 15 ayat (2) dan (3) UU 42/1999.
MK memberikan makna baru atas frasa ‘kekuatan eksekutorial’ dan frasa ‘sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap’. Begitu pula frasa ‘cedera janji’ sebagai syarat pelaksanaan eksekusi.
Bila dibedah dari pertimbangan hukumnya, MK tidak serta-merta menghapuskan eksekusi sendiri alias tanpa pengadilan yang dipraktikkan sebelum 6 Januari 2020. Namun, MK menambahkan mekanisme peradilan sehingga kini terdapat dua prosedur penarikan objek jaminan fidusia berdasarkan alasan cedera janjinya.
Pertama, adanya cedera janji telah disepakati bersama oleh kreditur-debitur. Bila skema ini terjadi, mestinya eksekusi sendiri dapat dilakukan oleh kreditur yang mengandaikan kerelaan debitur menyerahkan objek jaminan fidusia.
Mekanisme eksekusi tersebut merupakan konsep ideal yang diharapkan oleh UU 42/1999 sebelum putusan MK. Namun, seiring berjalannya waktu mencuatkan sejumlah ekses seperti kasus Dewi.
Kedua, cedera janji ditentukan oleh upaya hukum karena kreditur-debitur tidak bersepakat. Jika ini terjadi maka kreditor harus mengajukan permohonan eksekusi ke PN.
Lazimnya, sengketa mengenai cedera janji diselesaikan melalui proses peradilan. Bila pihak yang kalah tidak mau menyerahkan objek setelah putusan inkrah, berlaku mekanisme permohonan eksekusi ke PN sesuai Pasal 196 Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
Proses peradilan dapat dipastikan memakan biaya dan waktu. Itu pula yang menjadi kekhawatiran pakar hukum perdata Universitas Indonesia (UI) Akhmad Budi Cahyono saat menjadi ahli pemerintah dalam perkara uji materi UU 42/1999.
Menurut Akhmad, kekuatan eksekutorial sertifikat jaminan fidusia tanpa melalui pengadilan memang didesain khusus untuk memudahkan kreditor. Tanpa adanya kemudahan itu kreditur enggan memberikan dananya dalam bentuk pinjaman kepada debitur.
Terlebih, kata dia, objek jaminan fidusia adalah benda bergerak seperti kendaraan yang nilainya kalah tinggi dari benda tetap. Jangan sampai, biaya eksekusinya lebih tinggi ketimbang nilai benda yang akan disita.
Aria Suyudi, ahli pemerintah lainnya, sependapat dengan Akhmad. Fakta menunjukkan bahwa manfaat jaminan fidusia dalam pembiayaan konsumen sektor otomotif di Tanah Air.
Menurut Aria, tiap tahun 6 juta pendaftar sertifikat jaminan fidusia masuk ke Kantor Pendaftaran Fidusia. Sekitar 90% dari pendaftaran itu objek jaminan fidusianya adalah kendaraan bermotor.
Putusan MK mau tak mau harus diterima terhitung sejak diucapkan pada 6 Januari 2020. Meski sudah mendapatkan keinginannya, para pemohon menilai masih perlu pengaturan lanjutan mengenai tata cara persidangan.
Veri Junaidi, kuasa hukum Dewi, menjelaskan bahwa UU bisa mengatur proses sidang sengketa cedera janji agar berjalan cepat. Yang bisa ditentukan adalah pembatasan upaya hukum berdasarkan nilai objek jaminan fidusia.
“Untuk nilai tertentu yang kecil cukup sampai [pengadilan] tingkat pertama, tapi jumlah besar bisa banding,” ujarnya kepada Bisnis.com, Senin (6/1/2020).
Dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024, pemerintah sudah mengusulkan RUU tentang Perubahan atas UU No. 42/1999 tentang Jaminan Fidusia. Bahkan, Kementerian Hukum dan HAM telah merilis naskah akademik RUU tersebut pada 2018.
Putusan MK teranyar bisa menjadi justifikasi untuk mengebut pembentukan RUU, termasuk memasukkan materi-materi baru agar jaminan kepastian hukum kepada para pihak semakin mantap.