Kabar24.com, JAKARTA — Advokat Todung Mulya Lubis tidak sungkan memuji I Dewa Gede Palguna ketika membaca proposal disertasi pria asal Bali tersebut pada 2009.
“Palguna memiliki daya analisis yang cerdas, di samping gaya penulisannya yang bagus. Saya curiga dia dulunya adalah wartawan atau seniman,” tulis Todung dalam buku Catatan Harian Todung Mulya Lubis: Buku 1 (2012).
Ketika itu, akhir Maret 2009, Todung menguji proposal disertasi Palguna di Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Salemba, Jakarta Pusat. Topik disertasi usulan Dosen Fakultas Hukum Universitas Udayana tersebut adalah constitutional complaint.
Ketika dikonfirmasi mengenai komentar Todung tersebut, Palguna langsung tertawa. Dia membenarkan memiliki latar belakang jurnalistik dan seni seperti dugaan Todung.
“Saya lebih dari 10 tahun aktif di dunia teater, pernah 6 tahun jadi penyiar radio, 1 tahun host talk show televisi lokal [Bali], dan 7 tahun jadi pembina pers kampus. Dan penulis lepas di harian lokal Bali,” katanya kepada Bisnis, Senin (6/1/2019) malam.
Meskipun termasuk hakim konstitusi generasi pertama, 2003-2008, Palguna belum menyandang gelar doktor karena ketika itu belum diwajibkan. Pendidikan strata-3 di FHUI diselesaikan pria kelahiran 24 Desember 1961 tersebut pada 2011 setelah meninggalkan Mahkamah Konstitusi (MK).
Pulang ke Bali, Palguna pun mengisi hari-harinya sebagai pengajar di FH Universitas Udayana. Ternyata, MK menjadi pelabuhan karirnya lagi setelah ditunjuk dan dilantik Presiden Joko Widodo sebagai hakim konstitusi pada 7 Januari 2015.
Jika ditarik mundur, persentuhan Palguna bahkan dimulai kala MK baru embrio. Dia merupakan Anggota MPR 1999—2004 Utusan Daerah dari Bali.
MPR periode pertama pasca-Reformasi tersebut merupakan penyusun empat perubahan UUD 1945. Amandemen ketiga pada 2001 menghasilkan payung hukum pembentukan MK sebagai pemegang kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung.
Dari pintu Senayan pula Palguna melenggang masuk ke institusi baru itu sebagai hakim konstitusi usulan DPR pada 2003.
Di bawah komando Jimly Asshiddiqie, MK periode pertama membangun reputasi lembaga baru sistem ketatanegaraan Indonesia. Sejumlah putusan monumental, di antaranya kontroversial, lahir dari ketuk palu meja hakim kontitusi.
Periode berikutnya, MK pernah mengalami masa suram. Kasus korupsi yang melibatkan Akil Mochtar dan Patrialis Akbar sempat menurunkan kepercayaan publik.
Kala MK tengah giat mengembalikan citra baiknya itulah Palguna mengemban jabatan periode kedua. Kali ini, dia hakim konstitusi dari pengusulan Presiden.
Namun, jabatan pengadil di MK itu mesti berakhir pula. Periode 2015-2020 adalah masa jabatan kedua Palguna, batas seseorang bisa menjadi hakim konstitusi.
Sidang pengucapan putusan lima perkara pengujian UU pada Senin (6/1/2020) pun menjadi sidang terakhir untuk Palguna. Dia kebagian membacakan pertimbangan putusan perkara uji materi UU No. 12/1969 tentang Pembentukan Propinsi Irian Barat dan Kabupaten-kabupaten Otonom di Provinsi Irian Barat.
Pertimbangan putusan itu berisi materi tentang dasar hukum pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 dan pengesahannya dalam Resolusi Majelis Umum PBB No. 2504. Selain hukum tata negara, hukum internasional memang menjadi salah satu spesialisasi Palguna.
“Perasaan saya bahagia dan plong karena akan segera kembali jadi orang merdeka ke kampus,” ujarnya menanggapi sidang terakhir itu.
Keesokan harinya, Selasa (7/1/2020), Presiden Joko Widodo resmi melantik Daniel Yusmic Pancastaki Foekh sebagai pengganti Palguna. Turut mengucapkan sumpah adalah Suhartoyo sebagai petahana dari pengusulan MA.
Balik ke kampus, Palguna akan mengajar seperti sebelumnya. Bisa jadi gelar guru besar pun akan segera disandangnya.
“Amin. Tapi pangkat saya masih rendah.”
Sepeninggal dirinya, Palguna tentu menginginkan MK dapat berkiprah lebih baik lagi. Harapannya, MK menghasilkan putusan-putusan terbaik berbekal kekayaan pengetahuan dan kenegarawanan sembilan hakim konstitusi.
“Jika kompak, pasti hasilnya bagus,” tuturnya.