Bisnis.com, JAKARTA - Pendiri PT Mugi Rekso Abadi sekaligus beneficial owner Connaught International Pte. Soetikno Soedarjo didakwa memberikan suap kepada mantan Direktur Utama PT Garuda Indonesia Tbk (Persero) Emirsyah Satar.
Jaksa pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Soetikno menyuap Satar sebesar Rp5.859.794.797, US$884.200, EUR1.020.975 dan SGD1.189.208. Secara keseluruhan, uang suap setara Rp46 miliar.
Menurut jaksa, Soetikno memberikan suap tersebut karena Emirsyah Satar selaku dirut Garuda 2005-2014 telah membantu merealisasikan kegiatan berupa pengadaan pesawat dan mesin pesawat PT Garuda Indonesia (GIAA) yang diperoleh pabrikan asing.
Pertama, pemberian uang dari Rolls-Royce Plc melalui PT Ardyaparamita Ayuprakarsa dan Connaught International, perusahaan milik Soetikno, sebesar US$680.000.
Hal itu terkait dengan tercapainya kontrak Total Care Program (TCP) mesin Rolls-Royce Trent 700 untuk 6 unit pesawat Airbus A330-300 GIAA yang dibeli tahun 1989 dan 4 unit pesawat yang disewa dari AerCAP dan International Lease Finance Corporation (ILFC).
Soetikno memberikan uang pada Satar karena dapat mengintervensi perusahaan agar dapat menggunakan metode TCP untuk perawatan mesin. Padahal, GIAA saat itu menggunakan mekanisme time and material based (TMB) karena kesulitan keuangan.
Kedua, uang suap diberikan Soetikno pada Satar terkait pengadaan pesawat Airbus A330-300/200. Soetikno menyuap Satar sebesar EUR1.020.975 melalui rekening Woodlake International, milik Satar.
"Terdakwa yang saat itu sudah menjadi penasihat bisnis untuk Rolls-Royce, selanjutnya mendapatkan dukungan Rolls-Royce untuk juga menjadi penasihat bisnis bagi Airbus," kata jaksa di Pengadilan Tipikor membacakan surat dakwaan, Kamis (26/12/2019).
Airbus melalui Gustav Humbert selaku Chief Executive Officer Airbus saat itu sebelummya berupaya menawarkan pesawat Airbus A330 kepada GIAA karena sejak pembelian pada tahun 1989, GIAA belum melakukan pembelian lagi produk pesawat Airbus.
Selain itu, hal ini juga sejalan dengan tujuan Rolls-Royce yang sebelumnya menawarkan Total Care Program (TCP) pada GIAA untuk perawatan pesawat Airbus.
Ketiga, uang juga berasal dari Airbus melalui Connaught International terkait pengadaan 21 unit pesawat Airbus A320 Family untuk PT Citilink Indonesia.
Pemberian uang pada Satar setelah penandatanganan sales and purchase agreement.
Soetikno memberi fee kepada Satar lewat Connaught International sebagai perusahaan intermediary dan disamarkan melalui perjanjian consultant agreement antara European Aeronautic Defense and Space (EADS) dengan Connaught International pada 13 Mei 2011.
Fee tersebut diterima Satar dalam bentuk pelunasan pembayaran satu unit rumah di Jalan Pinang Merah II Blok SK No.7-8 kepada Istiningdiah Sugianto berikut biaya pajaknya dengan jumlah keseluruhan Rp5.790.000.000.
Uang pembayaran rumah itu berasal dari PT Mugi Rekso Abadi yaitu perusahaan sektor gaya hidup milik terdakwa, dan sumber uangnya berasal dari EADS yang terafiliasi dengan Airbus.
Keempat, penerimaan terkait pengadaan pesawat Sub-100 seater Canadian Regional Jet 1.000 Next Generation (CRJ1.000NG) dari Bombardier Aerospace Commercial Aircraft melalui Hollingworth Management International (HMI) dan Summerville Pasific Inc.
HMI adalah perusahaan yang sengaja didirikan Soetikno bersama Bernard Duc di Hongkong setelah mengetahui dari Satar bahwa GIAA tengah melakukan pengadaan pesawat.
Kemudian, pada 11 Mei 2011 pihak Soetikno menandatangani kontrak sales representative agreement dengan Bombardier terkait dengan The sale of certain Bombardier Aircraft to, or to be operated by Garuda Indonesia.
Setelah dibuat kontrak kerja sama dengan Bombadier, Soetikno dan Bernard lalu berupaya untuk memenangkan CRJ1.000NG dengan cara memberikan informasi secara terselubung kepada Satar, mantan Direktur Teknik GIAA Hadinoto Soedigno dan Capt. Agus Wahyudo.
Informasi itu melalui email yang berisi tentang kelebihan dari pesawat Bombardier CRJ1.000NG dibandingkan dengan pesawat Embraer E-190, asal Brasil.
Singkatnya, setelah adanya pengumuman pemilihan pengadaan pesawat sub-100 seater dengan memilih pesawat Bombardier CRJ1.000NG, maka dilakukan negosiasi dan meminta pengurangan harga sejumlah US$400.000 per pesawat.
"Atas permintaan tersebut, terdakwa menyampaikan kepada Emirsyah Satar bahwa itu akan berakibat tidak adanya keuntungan dan dapat berdampak pada “bagian” Emirsyah Satar, Hadinoto Soedigno dan Capt. Agus Wahyudo, oleh karenanya Emirsyah Satar lalu meminta agar terdakwa menghubungi Hadinoto Soedigno guna mendiskusikan masalah tersebut," papar jaksa.
Alhasil, setelah adanya perjanjian antara pihak GIAA dengan Bombardier, maka uang dialirkan pada HMI untuk kemudian dikirim sejumlah USD1.166.667 ke rekening Summerville Pasific Inc milik terdakwa.
Satar lantas menerima uang dalam bentuk investasi sejumlah US$200.000 dari Bombardier melalui HMI dan Summervile Pasific Inc di Mcquaire Group Inc tersebut.
Kelima, pemberian uang sejumlah SGD1.181.763 dari Avions de Transport Régional (ATR) melalui Connaught International terkait pengadaan pesawat ATR 72 seri 600.
Pengadaan itu mulanya dalam rangka pengembangan bisnis GIAA untuk merespon liberalisasi penerbangan di ASEAN tahun 2012 dan untuk kebutuhan konektifitas serta potensi persebaran bandara di Indonesia.
GIAA lantas berencana memasuki segmen market pesawat baling-baling (propeller) karena berbiaya operasional yang rendah khususnya biaya fuel dan biaya ownership serta dapat melayani airport kecil, dan efisien untuk penerbangan rute pendek.
Jaksa mengatakan bahwa rencana untuk menggunakan pesawat mesin turbo propeller (turboprop) itu lantas diketahui Soetikno dan Bernard Duc.
Satar juga memerintahkan agar program pengadaan pesawat turboprop dapat dijalankan pada tahun 2012, serta menunjuk Hadinoto Soedigno yang saat itu menjabat sebagai Direktur Produksi PT Citilink Indonesia untuk membantu penyiapan analisa dan business plant serta business model.
Hadinoto juga mengirim email kepada Soetikno yang berisi paparan pesawat, padahal terdakwa bukan merupakan karyawan GIAA maupun PT Citilink Indonesia.
Singkatnya, setelah tercapainya kesepakatan dan tanda tangan kontrak, pada 24 Januari 2014, ATR menunjuk Connaught International sebagai intermediary pemberian fee yang disamarkan dengan adanya perjanjian consultant agreement antara Connaught International dengan ATR.
Pada 17 April 2014, terdakwa lantas menerima pembayaran komisi dari ATR melalui rekening Connaught International di Barclays sejumlah EUR4.344.363 yang kemudian oleh Soetikno dikirim ke rekening Vintone Business Inc di OCBC Singapura sejumlah SG$135.000.
"Dan kemudian dikirim lagi ke rekening milik Emirsyah Satar di HSBC nomor 152278975496 a.n. Emirysah Satar dan Sandrina Abubakar," ujar jaksa.
Selain itu, Satar juga menerima fee dari pembelian pesawat ATR 72 seri 600 dari ATR melalui intermediary Connaught International milik Soetikno dan menyamarkannya dengan kegiatan jual beli fiktif atas apartemen Silversea pada 14 Maret 2014 antara Satar dengan pihak Innospace Investment Holding, Ltd.
Soetikno juga memberi uang senilai SGD1.181.763 pada Satar dengan melunasi tagihan apartemen dimaksud kepada Marina Green Limited selaku developer melalui Innospace Investment Holding, Ltd.
Tak sampai disitu, pemberian juga sejumlah SG$6.470 dan SG$975 dalam rangka penutupan rekening a.n. Woodlake International di UBS Singapura dengan nomor 153029.
Jaksa menyebut bahwa Soetikno memberikan fasilitas pada Satar berupa menginap di vila Bvlgari Resort Bali dengan total biaya sejumlah Rp69.794.797 dan jamuan makan malam di four seasons hotel serta penyewaan jet pribadi Bali ke Jakarta seharga US$4.200.
Atas perbuatannya, Soetikno didakwa melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf b Undang-Undang tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 65 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.